Bug. “Ups sorry ya ngga sengaja.” Aku bangkit setelah
mengambil beberapa buku yang terjatuh akibat tertabrak oleh…..hei cewek ini
lagi…
“Iya nggak pa-pa.” Jawabku sambil menyunggingkan seulas
senyum, yah kalau aku boleh jujur senyum terpaksa tentunya.
“Tu cewek anak mana sih?” Aku kembali mengalihkan
pandanganku pada Ara, sahabatku di kelas setelah melihat cewek berkulit putih,
tinggi semampai dan…well, cantik ini menghilang dibelokan koridor kelas yang
sedang aku ikuti saat ini. Fotografi.
“Sastra indo.” Ara menjawab sambil terus mengunyah permen
karet yang sampai siang ini sudah bertahan 4 jam didalam mulutnya. She’s a
bubble gum addict.
“Ribet banget ngeliat dia tiap hari bolak-balik kesini” Aku
menarik kursi yang berada di dua deret terakhir, Ara melakukan hal sama dan ia
duduk disebelah kananku.
“Yaiyalah, incerannya kan anak fotografi, dikelas ini.”
Jawab Ara dengan nada ‘betapa-kupernya-elo-sampe-nggak-tau-hal-ini’.
“Inceran?” Balasku.
“Iya, dia suka sama si Dimas itu tuh……eh bentar lo tau kan
Dimas itu yang mana?”
“Hei, aku nggak secupu itu. Yang itu kan?” Aku menunjuk orang
yang berada tiga meja didepanku, cowok dengan kaos abu-abu tua sedang memainkan
jari-jarinya sambil mengenakan earphone ditelinganya. Sesekali ia terlihat
menggoyangkan kepalanya mengikuti alunan music yang mungkin sedang ia dengar.
“Nggak usah ditunjuk juga, Pinteeeerrrrr.” Ara menepis
lenganku dengan satu hentakan cepat.
“Yaudah santai aja. Dikelas kan cuma ada kita bertiga doang.
Lagian juga dia kan lagi make earphone. Dia mana denger kita lagi ngomongin
dia.” Aku berusaha membela diri.
“Emang kita lagi ngomongin dia ya?” Ara mengerlingkan mata
dan menatapku penuh arti. Oh Tuhan, anak ini selalu saja instan dalam
menyimpulkan sesuatu. Aku hanya menggeleng-geleng pelan kepalaku dan meraih tas
disamping kakiku mengambil pensil warna dan mencorat-coret binder yang ada
dihadapanku.
“Dia cakep ko. Keren. Pinter juga ngambil gambar. Ya,
cocoklah jadi calon-calon fotografer handal yang kece. Panteslah semua cewek
kepincut sama dia.” Lanjut Ara. Aku tidak membantah perkataannya. Well, cowok
itu memang good looking dan dia cukup terkenal dikalangan dosen fakultasku
berkat hasil-hasil gambarnya. Namun aku harus tetap terlihat tidak tertarik
dengan pembicaraan ini dengan Ara, jadi aku putuskan tetap sibuk dengan pensil
warna dan kertas binder yang ada dihadapanku. Biarkan dia berceloteh panjang
lebar tentang cowok yang sekarang sedang merapikan earphone-nya dan
memasukkannya kedalam tas ransel miliknya. Hei tunggu, tunggu, aku bukan sedang
memperhatikan dia loh ya. Aku cuma, ya…..melihat sekilas kearahnya.
“Nggak semua cewek kali. Aku nggak, tuh.” Balasku yakin.
“Who knows?” Sahutnya singkat sambil menatapku penuh arti.
“Terserah deh.” Aku meraih pensil warna biru untuk
melengkapi gambar pada binder dihadapanku. Malas meladeni Ara kalau sedang
terkena syndrome ‘ngecengin’ orang kayak yang sekarang ini.
Satu persatu mahasiswa lainnya berdatangan. Dan yap,
duabelas orang anak fotografi termasuk aku, Ara dan….Dimas sudah ada diruangan
ini.
Tidak lama kemudian Kak Dobi datang. Dosen yang memang
selalu tampil nyentrik ini kali ini memakai kacamata berframe oranye cerah
senada dengan kemeja dan sepatu yang ia kenakan senada dengan jeans coklat tua
yang sudah belel namun justru malah terlihat keren bagiku. Anak-anak enggan
memanggilnya ‘Pak’ karna, ya, dia memang tidak setua itu untuk dipanggil dengan
sebutan ‘Pak’, lagipula melihat penampilannya sehari-hari yang seperti itu…yah
kalian mungkin bisa membayangkannya.
“Tu dosen bisa nggak sih sehari aja pakaiannya bener. Lu
bayangin aja ni hari panas mentereng dan dia pake pakaian kayak gitu.” Ara
mendecakkan lidah sambil menggoyangkan pelan kepalanya dengan satu tangan
menopang dagunya. Heran melihat penampilan dosennya itu.
“He has his own style.” Aku menyahut sambil merapikan pensil
warna yang berserakkan dimejaku dan memasukkannya kedalam tas.
“Yaiya sih,” Ara menggantungkan kalimatnya.
Aku menoleh dan menaikkan sebelah alisku mengisyaratkannya
agar melanjutkan kalimatnya.
“Tapi dandanannya itu……cuco banget, cyinnnnnn”
Sontak aku langsung tertawa keras melihatnya berkata seperti
itu sambil memeragakan gaya, dan suara seorang cowok yang berkelakuan
ke-cewek-cewek-an.
“Jingga.”
Aku tersentak dan langsung menghentikan tawaku mendengar
namaku dipanggil. Nggak mungkin ada Jingga selain aku di kelas yang hanya terdapat
7 orang cewek dan 5 orang…..maksudku, 6 orang cowok jika Kak Dobi dihitung
sebagai cowok (tulen). Aku langsung menatap kesumber suara yang sangat familiar
ditelingaku ini.
Seakan bisa menjawab kebingunganku Kak Dobi melanjutkan,
“Kamu satu kelompok sama Radimas.”
Refleks Aku menoleh kesamping dan Ara sudah menatapku dengan
tatapan super duper isengnya.
“Hai!”
AKu tersentak dan secara tidak sengaja mencoret gambar yang
sedang kubuat sambil menunggu kedatangan Ara di kafe seberang kampus. Demi
Tuhan, aku hanya tinggal menambahkan kumis pada wajah Doraemon ini dengan
crayon hitam sebelum cowok super songong ini membuatku ikut memberi kumis pada
wajah Shizuka yang sedang berada disamping Doraemon pada gambarku ini. Ya,
entah mengapa tiba-tiba tadi aku ingin sekali membuat gambar tokoh Doraemon dan
teman-temannya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara
perlahan.
Sabar, ya, Jingga. Sabar…..
“Ya.” Sahutku akhirnya.
“Gimana? Kita mau ngambil gambar apa, nih?”
Demi Tuhan, apa dia tidak menyadari bahwa dia sudah
menghancurkan hasil karyaku kurang dari tigapuluh detik lalu?
“Terserah.” Jawabku acuh.
“Hmm, eh iya….”
“Jinggaaaaaaaa…..eh, Dimas?”
Ara datang menghampiriku dan langsung terkejut melihat siapa
orang yang duduk berseberangan denganku.
“Hai.” Sahut Dimas dengan senyum khasnya.
“Lagi ngomongin tugas dari Kak Dobi ya? Emang apa projeknya?”
Ara langsung menyambar sofa kosong disebelahku.
“Bel….”
“Rahasia dong. Kepo nih.” Sahut Dimas cepat bahkan sebelum
aku sempat menyelesaikan kata “Belum” yang tadinya ingin aku gunakan untuk
membalas pertanyaan Ara. Sungguh, aku berani bertaruh bahwa sebenarnya Ara
sedang bertanya kepadaku.
“Iya, maaf deh maaf.” Ara mengerucutkan bibir mungilnya yang
dipoleskan lipbam tipis bewarna pink.
“Ahahahahahahahahahaha” Setelah beberapa detik kami bertiga
diam dalam keheningan, Ara tertawa. Puas sekali.
Aku menoleh heran menatap sahabat disebelahku. DImaspun
menatapnya dengan tatapan yang sama denganku. Sekali lagi aku tegaskan bahwa
aku tidak sedang memperhatikan cowok dihadapanku, aku hanya sekilas melihat
wajahnya.
“Gambar elo, Ga. Masa Shizuka punya tompel gini, sih?”
Tuhan, sungguh coretan yang tidak sengaja itu lebih mirip
sebagai kumis dan sangat jauh dari sebutan ‘tompel’ yang tadi Ara bilang.
Aku meraih kertas tersebut dan langsung meremasnya, kemudian
aku letakkan kembali keatas meja dihadapanku, berniat untuk membuangnya saat
keluar dari kafe nanti.
“Kalian pada mau pesan apa? Karna gue lagi baik, lo semua
gue traktir.”
“Hah? Beneran nih, Dim?” Sahut Ara antusias menanggapi
penawaran baik dari Dimas.
“Gue lagi pengen mie ayam pangsit banget nih. Sama jus
alpukat aja deh.” Ara menyebutkan pesanannya.
“Elo, Ga?” Dimas menatap kearahku, tepat dimanik mata. Aneh,
tapi aku sedikit gugup ditatap seperti itu.
“Cappucino Latte.” Jawabku singkat.
“Itu aja?” Sahutnya.
Aku mengangguk. Selera makan siangku hilang karna harus
semeja makan dengan orang ini.
Setelah menghabiskan semangkuk mie ayam, Ara melanjutkan
ronde kedua makannya dengan Banana Split. Sementara aku hanya memesan air
mineral dingin. Dan dimas, iya hanya memesan semangkuk es campur.
Ringtone tanda BBM masuk dari ponsel Ara berdering.
“Duh, Ga, sorry banget nih,”
Perasaanku mulai tidak enak…
“Bella nge-BBM gue, dia bilang gue disuruh ke kampus
sekarang. Mau ngambil gambar.”
Benar, kan firasatku?
“Sorry banget nih ya, Ga gue ninggalin elo.” Ara meminta
maaf.
“Iya nggak pa-pa.” Balasku singkat.
“Oke, dah Jingga, dah Dimas.” Ara melambaikan tangannya dan
melangkah sigap menuju pintu keluar kafe.
Hening.
“Gimana kalo kita jalan...”
Aku menoleh cepat menatap Dimas dengan kening berkerut.
“Bukan jalan semacam nge-date maksud gue, tapi jalan, ya,
nyari inspirasi buat projek kita.”
Aku menghembuskan pelan napasku yang sempat tertahan. Bodoh,
kenapa aku bisa berpikir dia akan mengajakku jalan? Aku merutuki dugaanku tadi.
Shame on me, batinku.
“Oke.” AKu memasukkan ponselku kedalam tas kecil milikku dan
meraih tas kameraku kemudian menyampirkannya pada bahu kanan lalu bergegas
meninggalkan kafe tersebut.
***
“Kamu sering kesini?” AKu membuka percakapan, merasa
canggung setelah dalam perjalanan kami tidak bicara satu sama lain.
“Dulu,” Dimas menyahut singkat sambil menendang sebuah batu
kecil dengan sepatu converse hitam miliknya.
“Dulu?” Aku mengulang kalimatnya.
“Lo liat anak-anak ditaman itu?” Dimas mengarahkan jari
telunjuknya menuju sebuah taman bermain di taman kota tempatku sekarang berada.
Disana mungkin ada sekitar 15 anak memainkan permainan yang ada di taman
bermain tersebut. Jungkat-jungkit, ayunan, perosotan, dan beberapa lainnya
bermain kejar-kejaran.
“Itu anak-anak dari sekolah singgah didaerah dekat sini
kan?”
Dimas mengangguk samar. Aneh, aku pikir sebelum aku dan dia
sampai disini dia terlihat lebih ceria.
“Dulu, gue itu bagian dari mereka.”
Aku menoleh cepat kearahnya. Kaget. Setahuku anak-anak yang
bersekolah disekolah singgah adalah anak jalanan yang tidak mampu untuk
bersekolah disekolah umum atau karna mereka……tidak punya orang tua.
“Orang tua gue yang sekarang itu orang tua asuh gue. Gue
bahkan nggak tau siapa orang tua kandung gue.” Dimas tertawa renyah.
Aku tidak tau harus berkata apa untuk menghilangkan suasana
seperti ini. Karna aku tau persis apa yang Dimas rasakan saat ini. Jadi, aku
hanya menatap sepatu converse merah marunku sambil terus berjalan bersisian
dengan Dimas menyusuri taman ini.
“Dimas!” Aku mendongak menatap Dimas dan berseru sambil
menyunggingkan senyum dengan lebar. Percayalah, ini adalah senyuman pertamaku
untuknya.
Dimas menoleh kearahku dengan tatapan bertanya.
“Kita udah dapet apa yang kita butuhin buat tugas dari Kak
Dobi.” Jawabku dengan tatapan penuh arti sambil menyodorkan DSLR-ku kearahnya.
***
“Congrats ya kalian dapet nilai A!” Ara berseru sambil
mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya.
“Gambar kalian emang bagus bangeeetttssss.” Lanjutnya masih
dengan antusiasme yang tinggi.
Aku hanya mendengarkan perkataan Ara dan melihat tatapan
puas dari Dimas, aku sedang sibuk dengan spaghetti ayam lada hitam dihadapanku.
“Itu idenya Jingga waktu gue sama dia lagi jalan ketaman
beberapa hari yang lalu.” Dimas membuka suara akhirnya.
Aku hanya menatapnya sebentar kemudian mengalihkan lagi
pandanganku pada menu makan siangku kali ini.
“Oiya, Ra, lo mau ikut kita, nggak, ke taman kota? Gue sama
Jingga mau ngasih hadiah buat anak-anak disekolah singgah disana yang kemaren
kita jadiin sebagai model dadakan dari foto kita.”
Aku menatap Ara. Berharap ia akan mengangguk setuju. Namun…
“Nggak deh kalian berdua aja.” Ara tersenyum lebar.
Menatapku dengan tatapan penuh arti.
Sudah kuduga.
***
“Kenapa nggak diangkat?” AKu menatap heran melihat Dimas
yang tidah menghiraukan panggilan masuk pada ponselnya.
“Nggak penting.” Sahutnya enggan. Ia masih terus
mengutak-atik kamera ditangannya.
“Venna?” Sedetik kemudian aku menyesali telah menyebutkan
satu nama itu.
Dimas tersenyum samar.
“Dia pacar kamu, kan?” Tuhan, ada apa denganku hari ini?
Pertanyaan bodoh, lagi.
“Bukanlah. Aku nggak suka tipe cewek kayak gitu. Terlalu
berlebihan.” Sahutnya sambil mengatur focus lensa kameranya. Cekrek.
“Dimas, apaan sih? Aku tuh paling nggak suka difoto
diem-diem. Pasti muka aku tuh keliatan tablo banget.” Aku protes keras saat dia
berhasil mengambil gambarku secara diam-diam.
“Nggak, kok, semuanya bagus.”
“Hah?”
“Eh, duduk disitu dulu, yuk. Cape juga nih abis bawa
sekardus gede buku-buku tadi.” Tidak menghiraukan raut bingung pada wajahku ia
malah mengajakku duduk dibangku taman. Aku dan Dimas baru saja memberikan beberapa buku cerita dan buku pelajaran untuk anak-anak di sekolah singgah dekat taman kota ini. Kami menduduki bangku yang terletak didekat sebuah
lampu taman yang lampunya sudah dinyalakan karna sekarang matahari sudah hampir
menghilang dibagian barat bumi.
“Gue beli minuman dulu ya, lo mau apa?” Tanya Dimas padaku.
“Air mineral aja.” Aku mendongak kearahnya sambil
memicingkan mataku karna semburat jingga dan oranye matahari yang hampir
terbenam itu masih menyilaukan mataku.
“Sip.” Balasnya sambil meraih kamera dan menyampirkan di
bahu kanannya.
Aku mengeluarkan Ipod-ku untuk mendengarkan lagu karna
merasa bosan harus menunggu sendiri di taman ini. Sial, baterainya habis. AKu
lalu mengeluarkan binder ku dan beberapa pensil warna dari dalam tasku dan
mulai menggambar. Udara disini cukup sejuk. Angin berhembus menerpa wajah dan
rambutku. Akhirnya aku memutuskan untuk menguncir asal rambutku dan menyisakan
anak-anak rambut lainnya yang tidak terkuncir. Seperti ini lebih baik. Aku
menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Aku suka tempat
seperti ini. Tenang dan menyejukkan. Sebuah bayangan mendekat. Dimas. Memangnya
siapa lagi? Dia membawa sekaleng soft drink dan air mineral serta beberapa
makanan ringan. Dimas menyodorkan air mineral itu padaku.
“Makasih.”
“Iya samasama.” Dimas duduk bersisian dengaku dan langsugn
sibuk dengan kamera miliknya. Aku tidak berani menoleh kesamping. Jadi aku
putuskan untuk tetap menekuri binder dihadapanku.
“Jingga.”
Aku menoleh.
“Warna langitnya sama kayak nama lo. Bagus ya.”
Kemudian aku tersenyum. Kebetulan tempat dudukku saat ini
menghadap ke barat, sehingga aku bisa melihat dengan cukup jelas matahari yang
akan mulai menjalankan tugasnya dibelahan bumi lainnya.
“Almarhum orang tuaku memberiku nama Jingga karna aku lahir
saat matahari terbenam. Seperti sekarang ini.”
Dimas menatapku bingung, namun aku hanya bisa tersenyum menatapnya.
"Foto berdua, yuk?" Ajakku sambil meraih DSLR milik Dimas.
Cekrek.
Dimas menatapku bingung, namun aku hanya bisa tersenyum menatapnya.
"Foto berdua, yuk?" Ajakku sambil meraih DSLR milik Dimas.
Cekrek.
***
Aku sedang memainkan sedotan pada jus manga ku ketika aku
lihat dua orang yang sudah sangat familiar bagiku membuka pintu masuk kafe dan
langsung menghampiriku. Entahlah, setelah projekku waktu itu dengan Dimas, aku
dan Ara semakin sering berkumpul dengan Dimas. Entah hanya untuk sekedar makan
siang ataupun saat mendapat tugas kelompok dari dosen-dosen dikelasku.
“Hai, Jingga. Nunggu lama ya?” Seperti biasa, Ara langsung
menyambar tempat duduk disampingku.
“Udah biasa.” Sahutku akhirnya.
“Bisa aja deh bebepku ini.” Ara melingkarkan kedua lengannya
di leherku.
“Idiot dasar.”
“Gue belajar dari elo, Jinggaaaaa.” Ara melemparku dengan bungkus permen karet yang baru saja ia kunyah.
“Oiya, Ga. Ada apa nih nyuruh kita kemari?” Dimas buka
suara.
“Eh iya, untung kamu ngingetin.” AKu merogoh tas tanganku
dan mengeluarkan selembaran kertas formulir pendaftaran.
“Apa itu?” Tanya Ara penasaran.
“Kepo.” Aku menjulurkan lidah kemudian tertawa yang kemudian
diikuti oleh Dimas.
“Udah lah kalian emang udah pas banget kalo udah ngecengin
gue.” Ara melipat kedua tangan didepan dada sambil mengerucutkan bibirnya.
“Becanda cintaaahh.” Aku gantian merengkuh Ara dengan kedua
tanganku.
“Ini apa, Ga?” Tanya Dimas setelah membolak-balik kertas
yang dipegangnya.
“Baca aja kenapa?” Balasku.
“National Photography Contest?”
Aku mengangguk.
“Kamu ikutan aja. As you know aja ya, aku pikir kamu itu
termasuk mahasiswa berbakat. Jepretan kamu bagus. Pemenangnya dapet beasiswa
nerusin belajar fotografi di Inggris.” Lanjutku.
“Wih keren tuh, Dim!” Sahut Ara antusias.
“Nggak ah, males.” Dimas menyodorkan kembali formulir itu
kearahku.
“Udah pegang aja dulu.” Kataku sambil menaik turunkan kedua
alisku.
“Okedeh.” Dimaspun melipat formulir tersebut dan
memasukkannya kedalam tas kameranya.
“Hari ini giliran Jingga yang traktir kita. Jadi apa gue
udah boleh pesen makanan gue sekarang?” Ara mengerlingkan mata padaku.
“Yah, as you wish, ra.”
Dimas dan Ara-pun tertawa melihat ekspresi wajahku.
***
AKu memainkan selempangan tas pada bahu kananku sambil
berjalan menuju kelasku. AKu terpaku sejenak melihat Dimas berhadapan dengan
seorang perempuan. Sepertinya aku tau siapa cewek itu, batinku. Benar saja
dugaanku. Venna.
AKu berlalu begitu saja melewati bangku yang ditempati
Dimas. Yah, Dimaspun tidak sama sekali menoleh kearahku, jadi buat apa aku
menoleh atau menegurnya? Seperti biasa aku duduk di dua deret kursi terakhir.
Sekilas aku melirik kearah Dimas. Dia sedang asik berbincang dengan Venna.
Ngomong-ngomong aku tau nama cewek cantik itu dari kontak BBM Ara saat aku
sedang iseng memainkan ponselnya beberapa waktu yang lalu. Mungkin Dimas memang
tidak menyadari kehadiranku karna terlalu asyik berbincang dengan Venna. Well,
akhir-akhir ini aku memang sering melihat Dimas bersama-sama dengan Venna.
Contohnya saat kemarin aku mengajaknya makan siang bersama Ara dia menolaknya
dan malah pergi bersama Venna. Sedetik kemudian aku menggeleng pelan kepalaku.
Berusaha mengenyahkan segala macam pikiran tentang Dimas dan Venna. Buat apa?
Toh, Dimas bukan siapa-siapa aku. Akhirnya aku putuskan untuk mengeluarkan
binderku dan beberapa pensil warna dari dalam tasku.
Aku dapat melihat dari sudut mataku, Venna bangkit dari
tempat duduknya dan berjalan keluar kelas. Dimaspun bangkit dan ternyata ia
malah menghampiriku.
“Hai.”
Aku mendongak menatapnya sekilas, kemudian aku alihkan
pandanganku kembali pada binder dihadapanku.
“Sombong banget.” Dimas menarik kursi didepanku dan
mendudukinya.
Enak banget, satu cewe pergi eh dateng ke cewe lainnya.
Gumamku dalam hati.
“Emang masalah, ya?” Balasku tanpa mengalihkan pandanganku
dari binder dihadapanku.
“Ih, jutek banget sih. Pantes aja nggak ada cowo yang
ngedeketin.” Dimas meledekku dengan nada isengnya. Aku masih terdiam.
“Tadi Venna bilang maslaah perlombaan NPC itu ke gue,”
Venna lagi.
“Trus dia bilang….,”
“Bisa, kan, nggak ngegangguin orang?” AKu menutup kasar
binderku dengan satu hentakan cepat dan berlalu begitu saja meninggalkan Dimas
yang masih terpaku di tempat duduknya.
***
Entah mengapa semenjak hari itu Dimas tidak pernah lagi
berbicara denganku atau bahkan menegurku. Sudah hampir seminggu ini ia tidak
masuk kelas. Kemarin adalah hari ulang tahunku, entah mengapa aku sangat ingin
melihat orang itu dan mengucapkan selamat ulang tahun untukku, ya walaupun
sudah terlambat satu hari.
“Aneh.” Ara membuyarkan lamunanku.
“Hmm?”
“Elo sama Dimas.”
AKu terdiam. Tau kemana arah pembicaraan ini.
“Ada masalah apa sih antara lo ama Dimas?”
“Masalah apaan, sih?”
Ara mengubah posisi duduknya menjadi benar-benar menghadapku.
“Gue sahabat elo, Ga. Dan Dimas, ya walaupun kita deket sama
dia belum lama, tapi gue ngerasa ada yang beda akhir-akhir ini antara lo sama
dia.”
“Ya seenggaknya sebelum dia tiba-tiba ngilang kaya sekarang
ini.” Lanjutnya.
AKu menyelipkan anak-anak rambutku yang tergerai kebelakang
telinga.
“Kalian kayak anak TK yang lagi marahan. Diem-dieman kaya
gitu. Bener nggak sih?”
“Perasaan kamu doang, Ra. Udahlah nggak usah dipikirin. Aku
mau balik.” AKu bergegas merapikan seluruh buku dan alat tulis yang ada
dimejaku dan memasukkannya kedalam tas tanganku.
Aku tidak menunggu sahutan balasan dari Ara dan segera
keluar dari kelas secepat yang aku bisa.
Aku baru saja keluar dari toilet wanita ketika tanpa sengaja
aku bertabrakan dengan Kak Dobi yang pada hari yang mendung begini malah
mengenakan baju warna hitam dengan celana abu-abu gelap.
“Aduh, Kak, maaf, maaf banget.” Aku meminta maaf sambil
membantu memunguti beberapa buku dan kertas yang berserakkan dilantai akibat
benturan tadi.
“Oh iya, nggak pa-pa kok nggak pa-pa.”
Aku tersenyum canggung melihat Kak Dobi sama sekali tidak
marah karna aku menabraknya saat ia terlihat sedang terburu-buru seperti tadi.
Tiba-tiba mataku tertuju pada selembar foto berukuran 10R yang bertuliskan
“Jingga dalam Senja.” pada bagian belakangnya. Aku meraih dan membalik foto
tersebut. Aku terpaku melihat latar pepohonan rindang, daun berguguran dan
langit senja yang begitu………indah. Kemudian aku terpaku pada objek yang terfokus
pada foto itu. Rambut yang sedang dikuncir asal dan meninggalkan beberapa helai
anak rambut yang tertiup angin, sebuah pensil yang terpegang diarahkan pada
kertas yang berada dalam genggaman perempuan itu. Perempuan itu seperti…
“Kak, dapet foto ini darimana?" Suaraku bergetar. Aku bisa merasakannya.
“Ya Tuhan, aku pikir kamu sebagai temannya sudah tau. Ini
foto dari Radim yang dipakai untuk ikut NPC. Dan kamu tau? Saya baru dapat
kabar dari penyelenggara perlombaan tersebut ternyata dia menang!” Kak Dobi
tersenyum lebar.
“Radim? Maksudnya Dimas?”
Kak Dobi mengangguk semangat. Seketika aku merasakan napasku
tercekat. Dadaku terasa begitu sesak.
Dimas, jadi kamu akan pergi dari sini?
***
Aku berdiri hanya beberapa langkah dari kursi yang diduduki
Dimas saat ini. Ingin aku menghampirinya dan….yah aku tidak tau harus berkata
apa dan apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku mulai mengatur napasku agar
oksigen yang masuk kedalam paru-paruku bisa tercukupi. Sungguh, rasa sesak
didadaku ini benar-benar menggangguku.
“Jingga?”
Aku tersentak. Suara itu, ah betapa aku merindukan suara
yang sudah sangat ingin aku dengar itu.
Dimas bangkit dari tempat duduknya. Aku berjalan dengan
gusar kearahnya.
“Jadi,” Aku memberanikan diri menatap matanya. Aku menarik
napas dalam-dalam.
“Kamu benar-benar pergi?”
Dimas hanya tersenyum. Betapa aku akan merindukan senyuman
ini..
“Oh iya,”
Dimas berbalik dan merogoh tas ransel kesayangannya yang
tergeletak pada bangku disebelahnya. “Selamat ulang tahun ya, Jingga. Semoga
semua yang kamu pengenin bisa terkabul. Maaf aku ngucapinnya telat banget.”
Aku meraih bungkusan berwarna oranye tua dengan pita
berwarna kuning muda tersebut.
Aku merasakan air mata sudah mendesak turun dari kedua
mataku. Rasa sesak didadaku ini semakin menjadi-jadi.
Tuk. Setetes air mata jatuh membasahi bungkusan yang
kupegang. Aku segera menghapusnya dan berharap Dimas tidak melihat itu. Dasar
bodoh, butiran bening lainnya malah ikut turun menyusul.
Aku memberanikan diri untuk mendongak dan menatapnya.
“Kamu, bakalan balik lagi kan?” Tanyaku lirih. Suaraku
benar-benar serak. AKu membiarkan bulir bening benar-benar mengalir deras pada
kedua mataku. Aku tidak peduli kalau-kalau Dimas mengira bahwa aku seorang
wanita cengeng. Percayalah, walaupun bulir bening ini sudah turun tapi aku
masih merasakan napasku tercekat dan dadaku terasa begitu sesak. Amat sangat
sesak. Aku ingin mengulang waktu dan membuat semuanya baik-baik saja, membuat
semuanya seperti dulu. Seperti saat aku, Dimas, dan Ara bisa tertawa bersama di
kafe seberang kampus, saat membicarakan tugas-tugas yang kadang memuakkan dari
Kak Dobi, saat bertaruh warna pakaian apa yang akan dipakai Kak Dobi saat masuk
ke kelas, dan saat…
Tuhan, bisa tidak aku mengulang
semuanya? Setidaknya beberapa minggu terakhir ini. Saat aku membentaknya dan
kemudian meninggalkannya begitu saja didalam kelas.
“Pasti.” Dimas mengusap pelan puncak kepalaku.
“Pesawatku sebentar lagi take-off. Kamu baik-baik ya
disini.” Dimas tersenyum kearahku.
Pundakku semakin bergetar tak menentu mengikuti isak
tangisku.
***
Aku baru berani membuka bungkusan yang Dimas berikan padaku
empatbulan setelah kepergiannya, menunggu saat aku benar-benar sudah siap. Aku
membuka dengan hati-hati bungkusan tersebut. Sebuah buku, oh mungkin lebih
tepatnya sebuah album karna ketika aku membuka halaman pertama, aku mendapati
fotoku, Ara, dan Dimas saat berada di sebuah wahana saat kami bertiga sedang
berlibur ke salah satu wahana permainan di daerah Bandung. Ada tulisan dibawah
foto ini,
“Ara yang sok tegar setelah naik roller coaster :p”
Aku tersenyum getir membaca tulisan itu. Aku ingat betul
saat Ara tidak masuk kampus selama empat hari setelah naik wahana itu. Betapa
aku baru sadar aku merindukan kebersamaanku bersama Ara, dan khususnya….Dimas. Aku
benar-benar merindukan laki-laki itu. Teramat sangat. Aku mencoba membuka lembaran
berikutnya, berisi foto anak-anak dari sekolah singgah yang menjadi objekku dan
Dimas saat diberi tugas oleh Kak Dobi. Kembali aku menemukan kalimat dibawah
foto tersebut.
“We got A for this pic. Such a brilliant idea from u, Ga :D”
Aku merasakan bulir bening sudah menetes membasahi kedua pipiku. AKu mengusap
pelan kedua mataku.
Lembar berikutnya terdapat beberapa foto saat aku sedang
sibuk dengan binder dan pensil warna digenggamanku….hei kapan dia mengambil
gambar-gambar ini?
“Nggak tau kenapa, gue suka banget ngeliat elo kalo lagi sibuk
sama binder elo, Ga.”
Aku memejamkan mata dan mengatur napasku yang sudah mulai
terganggu oleh isakan tangisku.
Lembar berikutnya…ah saat ditaman waktu itu, aku sedang
menggelembungkan pipiku dan dengan tiba-tiba Dimas mengambil gambarku.
“Mungkin gue punya hobi baru. Ngambil gambar lo diem-diem.
Dan, liat kan? Elo sama sekali engga jelek disetiap gambar lo, Ga. You have to
know that ;-)”
Aku tersenyum. Aku ingat saat itu aku berkata bahwa aku
merasa tidak suka saat ada orang yang mengambil gambarku, aku merasa tidak
cukup bagus saat difoto.
Lembar berikutnya…ah foto ini lagi..
Kembali aku menemukan tulisan dibawahnya.
“Jingga dalam Senja. Kalian berdua itu sama, kalian berdua
itu indah.”
Kali ini air mata yang menetes dari kedua mataku semakin
deras dan aku tidak berusaha mengusapnya dari pipiku. Percuma.
Aku terpaku lama pada foto dihadapanku ini.
Lembar berikutnya, gambar ini…Gambar yang waktu itu sudah
hampir kubuang ke tempat sampah.
“Tadinya gue pengen minta maaf sama lo karna nggak
sengaja ngagetin lo dan ngebuat lo jadi nyoret gambar yang udah hampir selesai
ini. Tapi nggak tau susah banget ngomong ‘maaf ke elo saat itu. Sorry, ya, Ga,
biarpun kecoret gambar lo tetep bagus ko :)”
Aku membuka lembar berikutnya. Foto aku dan Dimas saat berada ditaman kota sore itu. AKu menemukan kembali tulisan, tulisan yang benar-benar membuat napasku tercekat.
"Gue sayang sama lu, Ga. Nggak tau kenapa, nggak tau sejak kapan. Lo mau nunggu gue, kan, Ga?"
Aku menutup dan langsung mendekap erat album dengan sampul berwarna coklat muda ini dan menangis sejadi-jadinya.
Aku membuka lembar berikutnya. Foto aku dan Dimas saat berada ditaman kota sore itu. AKu menemukan kembali tulisan, tulisan yang benar-benar membuat napasku tercekat.
"Gue sayang sama lu, Ga. Nggak tau kenapa, nggak tau sejak kapan. Lo mau nunggu gue, kan, Ga?"
Aku menutup dan langsung mendekap erat album dengan sampul berwarna coklat muda ini dan menangis sejadi-jadinya.
Dimas, aku juga sayang kamu. Kamu cepet balik kesini ya.
***
“Happy birthday, Jinggaaaaaa. Selamat ulang tahun ya buat
sahabat terawet dan terlama gue.”
Ara mencium pipi kanan dan kiriku.
“Congrats juga ya, lukisan lo bisa ditampilin dipameran
sebesar ini.”
“Iya sama-sama Ara-ku sayanggg. Makasih juga udah selalu
nemenin dan ngasih inspirasi buat gue.” Aku memeluk Ara yang kemudian dibalas
pelukan olehnya.
“Gue atau Dimas, nih?”
Aku melepas pelukanku.
“Both of you, guys.” Ara kembali memelukku dan mengusap
pelan punggungku.
“Kita ke kafe biasa yuk? Lo harus traktir gue makan
sepuasnyaaaa.” Ajaknya setelah melepas pelukannya.
“Dasar cewek rakus.” Aku tersenyum jail sambil menyikut
pelan lengan Ara.
“Ah udah ayo cepetttt.” Ara menggamit lenganku dan langsung
menyeretku menuju jazz putih miliknya diparkiran depan.
“Eh nggak adil nih masa aku traktir kamu tapi kamu nggak
ngasih something gitu ke aku?” Tanyaku sesampainya dikafe yang menjadi tempat
wajib yang harus dikunjungi setiap hari olehku, Ara, dan Dimas….dulu.
“Kata siapa? Tuh.”
Aku mengikuti arah pandang Ara dan seketika mataku membulat.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menghampiri laki-laki itu dan langsung
memeluknya.
“Aku pulang, kan, Ga?”
AKu menangis dipundak laki-laki ini. Bukan tangis kesedihan,
melainkan rasa haru. Lima tahun aku tidak bertemu dengan laki-laki ini. Lima
tahun aku tidak mendengar suaranya. Lima tahun aku tidak melihat senyumannya.
“Jangan pergi lagi, ya, Dim?"
Aku dapat merasakan Dimas mengangguk pelan. AKu mempererat
pelukanku.
“Selamat ulang tahun, Jingga.”
Aku tersenyum dalam sela-sela tangisku. Aku mendapatkan
hadiah yang teramat istimewa hari ini. Dan saat ini yang lebih penting adalah
bahwa aku memiliki mereka, lagi. Orang-orang yang aku sayang. Ara yang selalu
ada setiap saat untukku, menjadi sahabat terlama dan terawetku. Dan Dimas yang
akan selalu mengisi hari-hariku dengan penuh warna, seperti sebuah pensil warna
yang selalu aku coretkan pada lembaran-lembaran binderku.
TAMAT
No comments:
Post a Comment