Karen tertegun. Wajah itu, wajah yang bahkan sampai
sekarang menjadi bayangan yang terus menghantui dalam benaknya. Tatapan mata
sendu itu seperti bisa menembus sampai kehati, membuatnya luluh. Dan senyum
dingin itu, sama seperti terakhir kali Karen melihatnya. Dulu,lima tahun lalu.
Karen masih ingat itu.
"Hai." Sapa sebuah suara berat khas
laki-laki dewasa memecah keheningan. Berubah, suara itu yang berubah
darinya.
Karen tidak menjawab sapaan itu. Masih tertegun
dengan objek yang ada dihadapannya. Karen menarik bangku dihadapannya dan
segera mendudukinya. "Udah lama juga, ya, kita nggak ketemu."
Laki-laki dihadapannya melanjutkan dengan seulas senyum tipis pada bibirnya.
Tulus, Karen bisa melihat itu. Karen hanya mengangguk samar sambil tersenyum getir.
Andai laki-laki ini tau apa yang aku rasakan sekarang. Batinnya. Rasa-rasanya
Karen ingin langsung memeluk laki-laki ini dan menangis bahagia karna dapat
bertemu dengannya lagi. Lima tahun bukan waktu yang sebentar, ditambah dengan
setiap harinya Karen terus memikirkannya. Memikirkan bagaimana kejadian lima
tahun itu, tepatnya dipenghujung tahun, bisa terjadi. Kejadian yang selalu
membuat dadanya terasa sesak saat mengingatnya. Lima tahun Karen berharap dapat bertemu lagi dengannya. Namun lima tahun pula mereka
tidak saling bertukar kabar, tidak saling bertemu, Karen bahkan tidak tau apa
dia masih mengingatnya atau bahkan melupakannya. Satu hal yang pasti, Karen
tidak (akan) melupakannya. Karen memperhatikan kembali sosok dihadapannya ini,
dalam jarak sedekat ini, walau hanya setengah badan yang bisa ia lihat
mengingat posisinya yang sedang duduk sehingga setengah badan lainnya terhalang
oleh meja hampir setinggi dada saat Karen menduduki kursi dihadapan meja ini. Ia masih sama seperti dulu, dengan tanned skinnya, dengan perawakan badannya yang tinggi dan tidak terlalu kurus, alis mata yang tebal menyiratkan kesan tegas namun tetap membuatnya menjadi sosok yang tetap menarik dimata Karen. Laki-laki
yang aku lihat sekarang, yang ada dihadapanku sekarang memiliki dada yang
bidang. Tentu, dia bertambah dewasa sekarang. Karen bergumam dalam hati. Karen sempat membayangkan bahwa mungkin
suatu saat nanti ia bisa bersandar disana. Atau mungkin sekarang? Rasanya ia
ingin sekali memeluknya sambil menangis bahagia karna akhirnya ia bisa bertemu
dengan laki-laki ini lagi.
Baik. aku ralat pernyataanku sebelumnya. Inilah
bagian lain dari laki-laki ini yang berubah selain suaranya. Gumamnya masih
dalam hati.
"Apa kabar?" Lanjut laki-laki dihadapan
Karen, mungkin karna tidak melihat bahwa Karen akan membalas sapaannya barusan.
Suara berat laki-laki ini membuyarkan lamunan Karen.
"Baik. Kamu?" Balas Karen singkat berusaha
setenang mungkin.
"Ya, beginilah aku sekarang." Senyum
laki-laki itu mengembang sekaligus memancarkan binar-binar kebahagiaan pada
kedua matanya.
"Oiya, kamu mau pesan apa?" Tanyanya lagi.
"Apapun yang kamu pesan kalikan dua."
Karen tersenyum. Sudah mulai menikmati pertemuan yang bisa dibilang cukup
mendadak ini.
"Siap, Bos!" Balasnya sambil meletakkan
ujung jari telunjuk dan tiga jari kanan lainnya pada pelipis kanannya untuk
mempertegas kalimatnya barusan.
Karen tersenyum.
Sambil menunggu pesanan datang, Karen dan laki-laki
dihadapannya ini larut dalam perbincangan layaknya dua orang teman lama yang
sudah lama tidak bertemu. Karen sendiri heran kenapa ia bisa serileks ini
bertatap wajah, bahkan berbincang langsung dengan laki-laki yang sudah sangat
ia rindukan selama ini.
Satu jam, dua jam, tiga jam pun berlalu. "Hei,
udah malem, pulang yuk." Ajak Karen setelah melirik pada jam tangan hitam
pada tangan kiri mungil miliknya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih
limabelas menit.
"Oke." Sahut laki-laki itu singkat sambil
meraih kunci mobil disampingnya.
Karen dan laki-laki itupun bergegas keluar dari kafe
tersebut, berjalan menuju parkiran dimana everest hitam milik laki-laki ini
diparkir. Karen berjalan menuju sisi kiri mobil berwarna hitam pekat itu, dan
secara tiba-tiba sebuah tangan terulur lalu membukakan pintu mobil sebelum
Karen sempat mengulurkan tangannya. Karen tertegun sesaat kemudian ia tersenyum
seakan memamerkan lesung pipi pada kedua pipinya dan kemudian segera masuk
kedalamnya. He's sweet, just like he used to be, pikir Karen setelah ia duduk
didalam mobil tersebut. Laki-laki itu berputar kesisi satunya dan masuk kedalam
mobil. Tak lupa ia mengingatkan Karen untuk mengenakan seatbeltnya kemudian
menyalakan mesin dan menjalankan mobil itu menuju rumah Karen.
"Eh, alay, ada apa sih malem-malem gini lo
nelpon gue?" Terdengar sahutan malas dari suara diseberang sana.
"Lo tau nggak gue abis ngapain?" Karen
menjawab masih dengan mata berbinar dan senyum yang mengembang.
"Nggak tau, dan nggak mau tau." Sahut
Maura acuh tak acuh. Karen tersenyum geli karna sesekali ia mendengar suara
menguap Maura dari seberang sana.
"Ah elo, Ra. Temen lo lagi bahagia banget
nih." Sahut Karen akhirnya.
"Iya deh iya," Maura akhirnya mengalah.
"Ada apa Karenku sayangggggg?" Lanjutnya
dengan nada antusias yang dibuat-buat.
Karen menghela napas, kemudian....
"GUE TADI KETEMUAN SAMA DIAAAAAAAAAA!!!"
Karen berseru dengan suara melengkingnya membuat Maura menjauhkan ponselnya
menjauh serentangan tangan.
"Dia siapa? Revo? Ya dia kan pacar lu. Ngapa lu
ampe heboh….”
"Bukaaaaaaannnn!" Karen memotong kalimat
Maura sebelum Maura sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Dia!! Dia!! Diaaaaaaa!" Karen melanjutkan
masih dengan antusiasme yang sangaaaat tinggi.
Hening sesaat.
"Ra?" Karen memecah keheningan. Ia bingung
mengapa lawan bicaranya tidak merespon ucapannya barusan.
"Jangan bilang Naren." Suara Maura
seketika menegas.
"Ra..."
"Ren, lo mau disakitin dia lagi? Waktu lo ama
dia, lima tahun lalu, masih nggak cukup? Lo tuh....bego apa gimana sih? Lagian lo udah ada Revo yang jelas-jelas beneran sayang ama elo."
Karen terdiam.
"Tapi tadi dia masih sama kaya dulu ko, Ra. Dia
perhatian, dia asik, dia sweet lah. Masih sama kayak dulu. Lagian gue cuma sekedar kangen doang ama dia. Gue udah lima tahun ngga ketemu dia. Dan lima tahun bukan waktu yang sebentar." Karen membela
diri. Penglihatannya mulai memburam. Terhalang oleh butiran-butiran bening dari
kedua matanya yang mulai mendesak untuk turun.
"Ya. Terserah elo deh, Ren. Gue ngantuk, mau
ngelanjutin tidur."
KLIK. Telpon diputus oleh Maura. Karen mengerti, ia
bahkan tidak sedikitpun marah atas perlakuan sahabatnya barusan.
"Kasih kesempatan gue sekali ini aja, Ra,"
Karen menggenggam ponselnya erat. Sangat erat.
"...buat sayang lagi ama dia, karena emang akan
selalu begitu." Karen bergumam lirih. Tanpa disadari, air mata menetes
satu demi satu. Dan semakin deras akhirnya, sampai beberapa saat kemudian ia
tertidur.
***
“Hei, Rev, maaf aku telat. Tuh, nungguin Si Sompret
Maura, aku yang pergi, eh, malah dia yang ribet sendiri.” Karen mendecakkan
lidah.
“Hahaha, iya udah nggak pa-pa, ko. Trus
sekarang mana dia?” Revo membalas dengan senyuman khasnya. Senyuman yang bisa
membuat setiap perempuan yang melihatnya akan merasakan ‘butterflies feelings’
di perutnya.
“Aku udah ajak dia kesini, tapi dia takut
nggak enak ama kamunya. Jadi tadi dia bilang mau nunggu di toko buku aja. “ Karen menduduki
sofa dihadapan Revo.
“Kamu mau pesan apa? Nih, daftar menunya.”
Revo menyerahkan daftar menu tersebut pada Karen.
Karen menerima dengan tangan kanannya.
“So, where’s your brother?” lanjutnya sambil
terus menatap lurus kebawah membaca menu-menu yang tersedia di restoran
tersebut. Ia menyelipkan anak-anak rambutnya yang keluar kebelakang kuping
kirinya dan membiarkan helaian-helaian rambut lainnya menutupi bagian samping
kanan wajahnya.
Dengan posisi Karen seperti ini membuat Revo
semakin gemas terhadapnya. Bagaimana tidak? Muka Karen yang mungil, natural
dengan tidak menggunakan makeup tebal malah terkesan tidak kentara, ditambah
dengan sepasang mata coklat belo yang selalu memancarkan binar kebahagiaan, hidungnya yang
tidak terlalu mancung, juga bibirnya yang mungil yang selalu ia oleskan tipis
lipbalm berwarna pink, ditambah dengan kedua lesung pipi membuat Karen
begitu…..menawan dimata Revo.
“Tadi sih dia bilangnya ke toko buku,” Revo
mengalihkan pandang dari gadis dihadapannya dan menatap pintu masuk restoran
tersebut. Karen mengikuti arah pandang Revo sebentar kemudian kembali asik
membolak-balik halaman daftar menu dihadapannya.
“Tuh, dia.” Revo berseru.
Karen mendongak lalu menoleh kebelakang.
Matanya seketika membulat dan tanpa sadar mulutnya menganga cukup lebar.
Kini Karen dapat merasakan dadanya terasa
sesak. Amat sangat sesak.
***
“Kodok burik, bekicot
buduk, kutu kupret! Gue gedor-gedor itu pintu kagak juga dibuka. SMS kaga
dibales, telpon nggak di…, Ren?” Maura terkejut ketika mendapati bulir-bulir
bening menetes deras dari sepasang mata Karen yang sedang terduduk dikasurnya,
melingkarkan lengan pada kedua lututnya yang terlipat. “Lo kenapa, Ren?”
Maura terkesiap dan langsung duduk disamping Karen. Tapi Kutu Kupret
disampingnya ini tidak menoleh sama sekali, seperti menganggap tidak ada
siapa-siapa disana. “Kareeeeeeennnnn. Lo kenapa, sih?” Maura semakin penasaran
melihat temannya terisak seperti ini.
Melihat Karen yang tak
kunjung membuka mulut, akhirnya Maura menarik pelan lengan Karen dan
membiarkannya menangis dipundaknya.
“Yaudah, Ren, kalo lo
nggak bisa cerita sekarang, nggak pa-pa.” Maura mengusap lembut punggung Karen
yang naik turun karena isakannya.
***
“Tu bocah masih sama
ya kaya dulu,” Naren melangkah menuju balkon apartemen Dika, sahabatnya yang
juga teman Karen yang berada pada lantai 4. Angin semilir menerpa wajahnya.
Kemudian ia menyandarkan kedua lengannya pada balkon tersebut sambil menatap
lurus pada sebuah danau kecil yang dikelilingi taman yang menyejukkan mata yang
berada dibelakang apartemen Dika.
“Siapa? Karen?” Dika
menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari buku kumpulan cerpen yang sedang ia
baca. Mungkin sedikit aneh melihat seorang cowok yang membaca buku seperti itu.
Well, nggak ada larangannya kan cowok baca cerpen?
Naren tidak menjawab.
Ia hanya menyunggingkan seulas senyum tipis di bibirnya.
“Dia masih sama kayak
dulu. Nggak ada dewasa-dewasanya juga tu anak. Masih kaya anak kecil.”
Lanjutnya.
“Are you galau, dude?”
Dika menjawab dengan nada jail dan tatapan mata syarat makna yang tentu saja
tidak dilihat oleh Naren. Tapi Naren tahu bahwa sahabatnya itu sedang
meledeknya.
“Enggaklah, biar
gimana pun dia mau nikah sama si Revo.” Naren menjawab lirih. Mendengar
kata-katanya sendiri rasanya seperti tiba-tiba terserang penyakit asma. Sesak.
Dika menutup
buku cerpen tersebut dan meletakkannya di meja kaca dihadapannya kemudian
melangkah menghampiri Naren. Ikut menyandarkan kedua lengannya pada balkon
apartemennya.
“Lucu juga sih ya si
Karen bisa mau nikah sama rival abadi elo dari SMP.” Dika tertawa sendiri
mendengar ucapannya tanpa memerhatikan raut wajah nelangsa pada sahabat
disampingnya ini.
Hening.
“Oiya Ren,” Dika
memecah keheningan. Ragu akan meneruskan kalimatnya.
Naren menoleh dan
mengisyaratkan Dika agar meneruskan kalimatnya.
“Alesan lo mutusin dia
waktu itu karna apa sih?”
Dika kembali menoleh
pada hamparan pemandangan yang mungkin sangat jarang dilihatnya dikota besar
seperti Jakarta setelah sebelumnya ia menoleh kearah sahabat disamping kirinya
itu.
“Tiba-tiba banget,
kaya ada petir disiang bolong. Lebay ya? Tapi emang bener. Gue aja kaget.”
Naren tersenyum getir.
“Ya, gue kan sahabat
lo, temen si Karen juga. Tapi ampe sekarang gue belum dapet jawaban pasti
dari kalian berdua kenapa kalian putus,” Dika menarik napas dan
menghembuskannya secara pelan.
“Kalian pacaran udah
dua tahun loh. Dan untuk ukuran cinta monyet, dua tahun itu bukan waktu yang
sebentar.” Dika menghembuskan pelan napasnya yang sempat tertahan.
Mungkin ini saatnya
gue kasih tau yang sebenernya. Tentang gue, Revo. Papa….almarhumah Tante Dania.
Naren memejamkan mata.
Menarik napas dalam-dalam berusaha mengambil oksigen sebanyak yang bisa ia
tamping pada paru-parunya, kemudian menghembuskannya dengan ragu.
“Revo,” Naren menelan
ludah.
“…kakak gue.”
Dika menoleh cepat.
“Becandaan lo nggak
lucu.” Dika tersenyum penuh makna sambil menggeleng-geleng pelan kepalanya.
“I’m not.”
Dika membulatkan mata.
Dan tanpa sadar mulutnya sudah membentuk huruf “O” Respon yang bisa
dibilang cukup terlambat.
Naren menoleh kearah
sahabatnya dan kemudian mengalirlah cerita itu. Ibu Naren─Sophia─ yang duapuluh
tahun lalu menikah dengan seorang duda─Adran─ yang ternyata telah memiliki
seorang anak berusia dua tahun. Hanya tiga bulan setelah pernikahan didapatilah
kabar bahwa Sophia telah mengandung seorang bayi. Setelah sembilan bulan
menantikan hadirnya anggota keluarga baru yang akan melengkapi kebahagiaan
Adran dan Sophia, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Narendra
Arysandoro. Kehidupan keluarga kecil itu sangatlah bahagia dan dapat dikatakan
sangat sangat berkecukupan. Takdir akhirnya mempertemukan Naren dan Revo saat
keduanya berada di SMP yang sama hanya saja mereka terpaut jarak dua tahun,
Naren kelas 7 sedangkan Revo kelas 9. Revo yang mengetahui bahwa ia dan Naren
adalah saudara sedarah merasa sangat membencinya, menganganggap bahwa
perceraian ibunya─Dania─dan ayahnya adalah karna hadirnya Sophia. Sampai saat
SMA pun mereka berada disekolah yang sama dan sampai saat itupula Revo
menganggap Naren adalah musuh abadinya.
“Sampai hari itu, gue
ngerti kenapa selama ini, dia benci banget kalo ngeliat gue.” Naren tersenyum
getir. Sementara Dika dengan serius memperhatikan sahabatnya bercerita.
“Bokap ngajakin dia
buat tinggal bareng sama dia,”
Naren menggantung
kalimatnya.
“Karna nyokapnya
meninggal. Ngga mungkin kan bokap gue nelantarin dia gitu aja.”
Jeda sejenak.
“Dan akhirnya gue
nerima tawaran bokap buat kuliah ke Aussie walau awalnya gue nggak mau. Dan lo
pasti tau kenapa gue ngga mau sekolah disana.”
Jeda sejenak.
“Gue ngga mau
jauh-jauh dari Karen. Tapi disisi lain, gue pengen banget bener-bener
ngejernihin pikiran. Pengen ngilangin fakta kalo Revo tu kakak gue, Dik.
Sedarah, satu bapak.” Naren mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Giginya
bergemeretak. Menahan bulir air mata yang hampir saja turun. Angin. Pasti angin
sialan ini yang ngebuat mata gue berair. Naren mencoba menepiskan perasaannya
sendiri bahwa sebenarnya ia sedang bersusah payah menahan turunnya bulir bening
tersebut dari kedua bola mata hitam pekat miliknya. Sial, nahan ni air mata
sialan bahkan lebih sulit daripada nahan ketawa. Batinnya.
“Tapi gue pikir, gue
ngga sesayang itu sama Karn. Gue ngabain di, nggak ngasih dia kabar bahkan
sampe hampei setahun.”
Ya gue paham, Ren. Gue
aja sahabat lo dari SD nggak lo kabarin sama sekali waktu itu. Dika berkomentar
dalam hati.
“Sampe pas gue balik
kesini gue ketemu sama Maura niatnya mau bikin surprise buat Karen, tapi dia
bilang ada yang lagid eket sama Karen. Dan orang itu ngga brengsek kaya gue.
Dia minta gue buat ngejauhin Karen. She doesn’t know it’s not that easy.” Suara
Naren semakin lirih seperti ikut terbawa angin yang sedari tadi bertiup dengan
sejuknya.
“Dan saat gue tau
orang yang dimaksud Maura itu Revo….”
Naren menarik napas
panjang. Berusaha mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, ia merasakan dadanya
sesak. Sangat amat sesak.
“Lo mutusin Karen.”
Sambung Dika akhirnya seperti bisa membaca raut wajah Naren yang sudah
benar-benar seperti orang yang teramat putus asa.
“Tapi kenapa, Ren? Lo
sayang sama Karen, Karenpun begitu. Dia nungguin elo, Ren. Dia…”
“Apa lo tega ngebiarin
sodara kandung lo sendiri kehilangan orang yang dia sayang lagi? Gue udah cukup
ngerasa bersalah setelah tau bahwa Revo hidup, tumbuh dan besar tanpa seorang
ayah yang ternyata adalah ayah gue. Dan ketika ibunya meninggal, satu-satunya
orang yang udah ngerawat dia sendirian dari kecil, satu-satunya harta yang dia
punya,”
Naren mengatur
napasnya yang mulai tersengal
“Apa lo bisa ngerasain
gimana rasanya?”
Naren meluapkan semua
emosi yang selama lima tahun ini ia pendam.
“Gue ngga bisa, gue
ngga bisa ngelakuin hal itu ke Revo lagi. Gue ngerasa gue udah mulai sayang
sama dia. Dia kakak gue.”
“Tapi apa lo
ngga merduliin gimana…..gimana hopelessnya Karen waktu itu? Lo pikir dia seneng
pas elo putusin dia? Lo pikir dia bisa dengan mudah ngelupain elo walaupun udah
ada Revo? Dia ngga sekuat keliatannya , Ren. You have to know that.”
“Dia bahagia, Dik. Gue
tau itu. Dan Revo pasti bisa bikin dia tambah bahagia.”
Beberapa detik hanya
terdengar gemerisik daun-daun daripepohonan yang ada ditaman.
"Dik," Naren
memecah keheningan.
"Ya?" Dika
menoleh.
"Janji ya ngga
bakal ceritain ini ke Karen." Pinta Naren penuh harap, Dika bisa merasakan
itu.
"Pasti."
***
No comments:
Post a Comment