Monday, November 12, 2012

When we meet again

Karen tertegun. Wajah itu, wajah yang bahkan sampai sekarang menjadi bayangan yang terus menghantui dalam benaknya. Tatapan mata sendu itu seperti bisa menembus sampai kehati, membuatnya luluh. Dan senyum dingin itu, sama seperti terakhir kali Karen melihatnya. Dulu,lima tahun lalu. Karen masih ingat itu.
"Hai." Sapa sebuah suara berat khas laki-laki dewasa memecah keheningan. Berubah, suara itu yang berubah darinya. 
Karen tidak menjawab sapaan itu. Masih tertegun dengan objek yang ada dihadapannya. Karen menarik bangku dihadapannya dan segera mendudukinya. "Udah lama juga, ya, kita nggak ketemu." Laki-laki dihadapannya melanjutkan dengan seulas senyum tipis pada bibirnya. Tulus, Karen bisa melihat itu. Karen hanya mengangguk samar sambil tersenyum getir. Andai laki-laki ini tau apa yang aku rasakan sekarang. Batinnya. Rasa-rasanya Karen ingin langsung memeluk laki-laki ini dan menangis bahagia karna dapat bertemu dengannya lagi. Lima tahun bukan waktu yang sebentar, ditambah dengan setiap harinya Karen terus memikirkannya. Memikirkan bagaimana kejadian lima tahun itu, tepatnya dipenghujung tahun, bisa terjadi. Kejadian yang selalu membuat dadanya terasa sesak saat mengingatnya. Lima tahun Karen berharap dapat bertemu lagi dengannya. Namun lima tahun pula mereka tidak saling bertukar kabar, tidak saling bertemu, Karen bahkan tidak tau apa dia masih mengingatnya atau bahkan melupakannya. Satu hal yang pasti, Karen tidak (akan) melupakannya. Karen memperhatikan kembali sosok dihadapannya ini, dalam jarak sedekat ini, walau hanya setengah badan yang bisa ia lihat mengingat posisinya yang sedang duduk sehingga setengah badan lainnya terhalang oleh meja hampir setinggi dada saat Karen menduduki kursi dihadapan meja ini. Ia masih sama seperti dulu, dengan tanned skinnya, dengan perawakan badannya yang tinggi dan tidak terlalu kurus, alis mata yang tebal menyiratkan kesan tegas namun tetap membuatnya menjadi sosok yang tetap menarik dimata Karen. Laki-laki yang aku lihat sekarang, yang ada dihadapanku sekarang memiliki dada yang bidang. Tentu, dia bertambah dewasa sekarang. Karen bergumam dalam hati. Karen sempat membayangkan bahwa mungkin suatu saat nanti ia bisa bersandar disana. Atau mungkin sekarang? Rasanya ia ingin sekali memeluknya sambil menangis bahagia karna akhirnya ia bisa bertemu dengan laki-laki ini lagi.
Baik. aku ralat pernyataanku sebelumnya. Inilah bagian lain dari laki-laki ini yang berubah selain suaranya. Gumamnya masih dalam hati.
"Apa kabar?" Lanjut laki-laki dihadapan Karen, mungkin karna tidak melihat bahwa Karen akan membalas sapaannya barusan. Suara berat laki-laki ini membuyarkan lamunan Karen.
"Baik. Kamu?" Balas Karen singkat berusaha setenang mungkin.
"Ya, beginilah aku sekarang." Senyum laki-laki itu mengembang sekaligus memancarkan binar-binar kebahagiaan pada kedua matanya.
"Oiya, kamu mau pesan apa?" Tanyanya lagi.
"Apapun yang kamu pesan kalikan dua." Karen tersenyum. Sudah mulai menikmati pertemuan yang bisa dibilang cukup mendadak ini.
"Siap, Bos!" Balasnya sambil meletakkan ujung jari telunjuk dan tiga jari kanan lainnya pada pelipis kanannya untuk mempertegas kalimatnya barusan.
Karen tersenyum.
Sambil menunggu pesanan datang, Karen dan laki-laki dihadapannya ini larut dalam perbincangan layaknya dua orang teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Karen sendiri heran kenapa ia bisa serileks ini bertatap wajah, bahkan berbincang langsung dengan laki-laki yang sudah sangat ia rindukan selama ini.
Satu jam, dua jam, tiga jam pun berlalu. "Hei, udah malem, pulang yuk." Ajak Karen setelah melirik pada jam tangan hitam pada tangan kiri mungil miliknya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih limabelas menit.
"Oke." Sahut laki-laki itu singkat sambil meraih kunci mobil disampingnya.
Karen dan laki-laki itupun bergegas keluar dari kafe tersebut, berjalan menuju parkiran dimana everest hitam milik laki-laki ini diparkir. Karen berjalan menuju sisi kiri mobil berwarna hitam pekat itu, dan secara tiba-tiba sebuah tangan terulur lalu membukakan pintu mobil sebelum Karen sempat mengulurkan tangannya. Karen tertegun sesaat kemudian ia tersenyum seakan memamerkan lesung pipi pada kedua pipinya dan kemudian segera masuk kedalamnya. He's sweet, just like he used to be, pikir Karen setelah ia duduk didalam mobil tersebut. Laki-laki itu berputar kesisi satunya dan masuk kedalam mobil. Tak lupa ia mengingatkan Karen untuk mengenakan seatbeltnya kemudian menyalakan mesin dan menjalankan mobil itu menuju rumah Karen. 

"Eh, alay, ada apa sih malem-malem gini lo nelpon gue?" Terdengar sahutan malas dari suara diseberang sana.
"Lo tau nggak gue abis ngapain?" Karen menjawab masih dengan mata berbinar dan senyum yang mengembang.
"Nggak tau, dan nggak mau tau." Sahut Maura acuh tak acuh. Karen tersenyum geli karna sesekali ia mendengar suara menguap Maura dari seberang sana.
"Ah elo, Ra. Temen lo lagi bahagia banget nih." Sahut Karen akhirnya.
"Iya deh iya," Maura akhirnya mengalah.
"Ada apa Karenku sayangggggg?" Lanjutnya dengan nada antusias yang dibuat-buat.
Karen menghela napas, kemudian....
"GUE TADI KETEMUAN SAMA DIAAAAAAAAAA!!!" Karen berseru dengan suara melengkingnya membuat Maura menjauhkan ponselnya menjauh serentangan tangan.
"Dia siapa? Revo? Ya dia kan pacar lu. Ngapa lu ampe heboh….”
"Bukaaaaaaannnn!" Karen memotong kalimat Maura sebelum Maura sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Dia!! Dia!! Diaaaaaaa!" Karen melanjutkan masih dengan antusiasme yang sangaaaat tinggi.
Hening sesaat.
"Ra?" Karen memecah keheningan. Ia bingung mengapa lawan bicaranya tidak merespon ucapannya barusan.
"Jangan bilang Naren." Suara Maura seketika menegas.
"Ra..."
"Ren, lo mau disakitin dia lagi? Waktu lo ama dia, lima tahun lalu, masih nggak cukup? Lo tuh....bego apa gimana sih? Lagian lo udah ada Revo yang jelas-jelas beneran sayang ama elo."
Karen terdiam.
"Tapi tadi dia masih sama kaya dulu ko, Ra. Dia perhatian, dia asik, dia sweet lah. Masih sama kayak dulu. Lagian gue cuma sekedar kangen doang ama dia. Gue udah lima tahun ngga ketemu dia. Dan lima tahun bukan waktu yang sebentar." Karen membela diri. Penglihatannya mulai memburam. Terhalang oleh butiran-butiran bening dari kedua matanya yang mulai mendesak untuk turun.
"Ya. Terserah elo deh, Ren. Gue ngantuk, mau ngelanjutin tidur."
KLIK. Telpon diputus oleh Maura. Karen mengerti, ia bahkan tidak sedikitpun marah atas perlakuan sahabatnya barusan.
"Kasih kesempatan gue sekali ini aja, Ra," Karen menggenggam ponselnya erat. Sangat erat.
"...buat sayang lagi ama dia, karena emang akan selalu begitu." Karen bergumam lirih. Tanpa disadari, air mata menetes satu demi satu. Dan semakin deras akhirnya, sampai beberapa saat kemudian ia tertidur.

***
“Hei, Rev, maaf aku telat. Tuh, nungguin Si Sompret Maura, aku yang pergi, eh, malah dia yang ribet sendiri.” Karen mendecakkan lidah.
“Hahaha, iya udah nggak pa-pa, ko. Trus sekarang mana dia?” Revo membalas dengan senyuman khasnya. Senyuman yang bisa membuat setiap perempuan yang melihatnya akan merasakan ‘butterflies feelings’ di perutnya.
“Aku udah ajak dia kesini, tapi dia takut nggak enak ama kamunya. Jadi tadi dia bilang mau  nunggu di toko buku aja. “ Karen menduduki sofa dihadapan Revo.
“Kamu mau pesan apa? Nih, daftar menunya.” Revo menyerahkan daftar menu tersebut pada Karen.
Karen menerima dengan tangan kanannya.
“So, where’s your brother?” lanjutnya sambil terus menatap lurus kebawah membaca menu-menu yang tersedia di restoran tersebut. Ia menyelipkan anak-anak rambutnya yang keluar kebelakang kuping kirinya dan membiarkan helaian-helaian rambut lainnya menutupi bagian samping kanan wajahnya.
Dengan posisi Karen seperti ini membuat Revo semakin gemas terhadapnya. Bagaimana tidak? Muka Karen yang mungil, natural dengan tidak menggunakan makeup tebal malah terkesan tidak kentara, ditambah dengan sepasang mata coklat belo yang selalu memancarkan binar kebahagiaan, hidungnya yang tidak terlalu mancung, juga bibirnya yang mungil yang selalu ia oleskan tipis lipbalm berwarna pink, ditambah dengan kedua lesung pipi membuat Karen begitu…..menawan dimata Revo.
“Tadi sih dia bilangnya ke toko buku,” Revo mengalihkan pandang dari gadis dihadapannya dan menatap pintu masuk restoran tersebut. Karen mengikuti arah pandang Revo sebentar kemudian kembali asik membolak-balik halaman daftar menu dihadapannya.
“Tuh, dia.” Revo berseru.
Karen mendongak lalu menoleh kebelakang. Matanya seketika membulat dan tanpa sadar mulutnya menganga cukup lebar.
Kini Karen dapat merasakan dadanya terasa sesak. Amat sangat sesak.
***
“Kodok burik, bekicot buduk, kutu kupret! Gue gedor-gedor itu pintu kagak juga dibuka. SMS kaga dibales, telpon nggak di…, Ren?” Maura terkejut ketika mendapati bulir-bulir bening menetes deras dari sepasang mata Karen yang sedang terduduk dikasurnya, melingkarkan lengan pada kedua lututnya yang terlipat. “Lo kenapa, Ren?” Maura terkesiap dan langsung duduk disamping Karen. Tapi Kutu Kupret disampingnya ini tidak menoleh sama sekali, seperti menganggap tidak ada siapa-siapa disana. “Kareeeeeeennnnn. Lo kenapa, sih?” Maura semakin penasaran melihat temannya terisak seperti ini.
Melihat Karen yang tak kunjung membuka mulut, akhirnya Maura menarik pelan lengan Karen dan membiarkannya menangis dipundaknya.
“Yaudah, Ren, kalo lo nggak bisa cerita sekarang, nggak pa-pa.” Maura mengusap lembut punggung Karen yang naik turun karena isakannya.
***
“Tu bocah masih sama ya kaya dulu,” Naren melangkah menuju balkon apartemen Dika, sahabatnya yang juga teman Karen yang berada pada lantai 4. Angin semilir menerpa wajahnya. Kemudian ia menyandarkan kedua lengannya pada balkon tersebut sambil menatap lurus pada sebuah danau kecil yang dikelilingi taman yang menyejukkan mata yang berada dibelakang apartemen Dika.
“Siapa? Karen?” Dika menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari buku kumpulan cerpen yang sedang ia baca. Mungkin sedikit aneh melihat seorang cowok yang membaca buku seperti itu. Well, nggak ada larangannya kan cowok baca cerpen?
Naren tidak menjawab. Ia hanya menyunggingkan seulas senyum tipis di bibirnya.
“Dia masih sama kayak dulu. Nggak ada dewasa-dewasanya juga tu anak. Masih kaya anak kecil.” Lanjutnya.
“Are you galau, dude?” Dika menjawab dengan nada jail dan tatapan mata syarat makna yang tentu saja tidak dilihat oleh Naren. Tapi Naren tahu bahwa sahabatnya itu sedang meledeknya.
“Enggaklah, biar gimana pun dia mau nikah sama si Revo.” Naren menjawab lirih. Mendengar kata-katanya sendiri rasanya seperti tiba-tiba terserang penyakit asma. Sesak.
 Dika menutup buku cerpen tersebut dan meletakkannya di meja kaca dihadapannya kemudian melangkah menghampiri Naren. Ikut menyandarkan kedua lengannya pada balkon apartemennya.
“Lucu juga sih ya si Karen bisa mau nikah sama rival abadi elo dari SMP.” Dika tertawa sendiri mendengar ucapannya tanpa memerhatikan raut wajah nelangsa pada sahabat disampingnya ini.
Hening.
“Oiya Ren,” Dika memecah keheningan. Ragu akan meneruskan kalimatnya.
Naren menoleh dan mengisyaratkan Dika agar meneruskan kalimatnya.
“Alesan lo mutusin dia waktu itu karna apa sih?”
Dika kembali menoleh pada hamparan pemandangan yang mungkin sangat jarang dilihatnya dikota besar seperti Jakarta setelah sebelumnya ia menoleh kearah sahabat disamping kirinya itu.
“Tiba-tiba banget, kaya ada petir disiang bolong. Lebay ya? Tapi emang bener. Gue aja kaget.”
Naren tersenyum getir.
“Ya, gue kan sahabat lo, temen si Karen juga. Tapi  ampe sekarang gue belum dapet jawaban pasti dari kalian berdua kenapa kalian putus,” Dika menarik napas dan menghembuskannya secara pelan.
“Kalian pacaran udah dua tahun loh. Dan untuk ukuran cinta monyet, dua tahun itu bukan waktu yang sebentar.” Dika menghembuskan pelan napasnya yang sempat tertahan.
Mungkin ini saatnya gue kasih tau yang sebenernya. Tentang gue, Revo. Papa….almarhumah Tante Dania.
Naren memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam berusaha mengambil oksigen sebanyak yang bisa ia tamping pada paru-parunya, kemudian menghembuskannya dengan ragu.
“Revo,” Naren menelan ludah.
“…kakak gue.”
Dika menoleh cepat.
“Becandaan lo nggak lucu.” Dika tersenyum penuh makna sambil menggeleng-geleng pelan kepalanya.
“I’m not.”
Dika membulatkan mata. Dan tanpa sadar mulutnya sudah membentuk huruf  “O” Respon yang bisa dibilang cukup terlambat.
Naren menoleh kearah sahabatnya dan kemudian mengalirlah cerita itu. Ibu Naren─Sophia─ yang duapuluh tahun lalu menikah dengan seorang duda─Adran─ yang ternyata telah memiliki seorang anak berusia dua tahun. Hanya tiga bulan setelah pernikahan didapatilah kabar bahwa Sophia telah mengandung  seorang bayi. Setelah sembilan bulan menantikan hadirnya anggota keluarga baru yang akan melengkapi kebahagiaan Adran dan Sophia, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Narendra Arysandoro. Kehidupan keluarga kecil itu sangatlah bahagia dan dapat dikatakan sangat sangat berkecukupan. Takdir akhirnya mempertemukan Naren dan Revo saat keduanya berada di SMP yang sama hanya saja mereka terpaut jarak dua tahun, Naren kelas 7 sedangkan Revo kelas 9. Revo yang mengetahui bahwa ia dan Naren adalah saudara sedarah merasa sangat membencinya, menganganggap bahwa perceraian ibunya─Dania─dan ayahnya adalah karna hadirnya Sophia. Sampai saat SMA pun mereka berada disekolah yang sama dan sampai saat itupula Revo menganggap Naren adalah musuh abadinya.
“Sampai hari itu, gue ngerti kenapa selama ini, dia benci banget kalo ngeliat gue.” Naren tersenyum getir. Sementara Dika dengan serius memperhatikan sahabatnya bercerita.
“Bokap ngajakin dia buat tinggal bareng sama dia,”
Naren menggantung kalimatnya.
“Karna nyokapnya meninggal. Ngga mungkin kan bokap gue nelantarin dia gitu aja.”
Jeda sejenak.
“Dan akhirnya gue nerima tawaran bokap buat kuliah ke Aussie walau awalnya gue nggak mau. Dan lo pasti tau kenapa gue ngga mau sekolah disana.”
Jeda sejenak.
“Gue ngga mau jauh-jauh dari Karen. Tapi disisi lain, gue pengen banget bener-bener ngejernihin pikiran. Pengen ngilangin fakta kalo Revo tu kakak gue, Dik. Sedarah, satu bapak.” Naren mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Giginya bergemeretak. Menahan bulir air mata yang hampir saja turun. Angin. Pasti angin sialan ini yang ngebuat mata gue berair. Naren mencoba menepiskan perasaannya sendiri bahwa sebenarnya ia sedang bersusah payah menahan turunnya bulir bening tersebut dari kedua bola mata hitam pekat miliknya. Sial, nahan ni air mata sialan bahkan lebih sulit daripada nahan ketawa. Batinnya.
“Tapi gue pikir, gue ngga sesayang itu sama Karn. Gue ngabain di, nggak ngasih dia kabar bahkan sampe hampei setahun.”
Ya gue paham, Ren. Gue aja sahabat lo dari SD nggak lo kabarin sama sekali waktu itu. Dika berkomentar dalam hati.
“Sampe pas gue balik kesini gue ketemu sama Maura niatnya mau bikin surprise buat Karen, tapi dia bilang ada yang lagid eket sama Karen. Dan orang itu ngga brengsek kaya gue. Dia minta gue buat ngejauhin Karen. She doesn’t know it’s not that easy.”  Suara Naren semakin lirih seperti ikut terbawa angin yang sedari tadi bertiup dengan sejuknya.
“Dan saat gue tau orang yang dimaksud Maura itu Revo….”
Naren menarik napas panjang. Berusaha mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, ia merasakan dadanya sesak. Sangat amat sesak.
“Lo mutusin Karen.” Sambung Dika akhirnya seperti bisa membaca raut wajah Naren yang sudah benar-benar seperti orang yang teramat putus asa.
“Tapi kenapa, Ren? Lo sayang sama Karen, Karenpun begitu. Dia nungguin elo, Ren. Dia…”
“Apa lo tega ngebiarin sodara kandung lo sendiri kehilangan orang yang dia sayang lagi? Gue udah cukup ngerasa bersalah setelah tau bahwa Revo hidup, tumbuh dan besar tanpa seorang ayah yang ternyata adalah ayah gue. Dan ketika ibunya meninggal, satu-satunya orang yang udah ngerawat dia sendirian dari kecil, satu-satunya harta yang dia punya,”
Naren mengatur napasnya yang mulai tersengal
“Apa lo bisa ngerasain gimana rasanya?”
Naren meluapkan semua emosi yang selama lima tahun ini ia pendam.
“Gue ngga bisa, gue ngga bisa ngelakuin hal itu ke Revo lagi. Gue ngerasa gue udah mulai sayang sama dia. Dia kakak gue.”
 “Tapi apa lo ngga merduliin gimana…..gimana hopelessnya Karen waktu itu? Lo pikir dia seneng pas elo putusin dia? Lo pikir dia bisa dengan mudah ngelupain elo walaupun udah ada Revo? Dia ngga sekuat keliatannya , Ren. You have to know that.”
“Dia bahagia, Dik. Gue tau itu. Dan Revo pasti bisa bikin dia tambah bahagia.”
Beberapa detik hanya terdengar gemerisik daun-daun daripepohonan yang ada ditaman.
"Dik," Naren memecah keheningan.
"Ya?" Dika menoleh.
"Janji ya ngga bakal ceritain ini ke Karen." Pinta Naren penuh harap, Dika bisa merasakan itu.
"Pasti."
***



No comments:

Post a Comment