Manda terpekur didepan laptopnya.
Bingung dengan sesuatu yang akan ia berikan pada kekasihnya, Kevin. Seminggu
lagi mereka akan merayakan hari jadian mereka yang keempat tahun. Hubungan
mereka dimulai semenjak SMA. Kelas sebelas tepatnya.
“Man?”
Terdengar suara pintu dibuka. Manda −dengan posisi telungkup
sambil menggoyangkan kedua kakinya dengan telapak kaki mengarah kelangit-langit
kamar kost-annya
menoleh
Kepala Divas menyembul dari balik pintu.
“Eh, kamu, Div, masuk aja.” Manda mengalihkan kembali
perhatiannya pada laptop dihadapannya.
“Lo ngapain jam
segini masih melek?” Divas menghampiri Manda yang tengah sibuk dengan
laptopnya.
“Lah? Kamu sendiri kenapa belom tidur? malah mampir ke kamar
aku.” Manda balik bertanya.
“Gue ngga bisa tidur. Insom kambuh nih kayaknya. Nah, elo
ngapain?” Divas duduk dipinggiran tempat tidur Manda.
Manda langsung bangkit dari posisinya semula dan langsung
menatap sahabat dihadapannya.
“Nyari ide buat ngasih Kevin hadiah. Minggu depan gue empat
tahunan, loh, sama dia.” Senyum Manda mengembang. Matanya berbinar.
“Ah elo,” Divas meraih majalah edisi terbaru milik manda di
meja belajar disamping tempat tidur sahabatnya.
“Yakali dia inget.” Divas membulak-balik halaman.
Manda menyunggingkan seulas senyum tipis pada bibir
mungilnya. Divas bisa merasakan binar pada mata Manda sedikit meredup.
“Eh bentar,”
Manda menoleh.
“Minggu depan? Ya ampun, Manda, itu kan juga hari ultah elo.”
“Kev, kamu udah makan siang?” Manda berdiri didepan kursi
yang sedang diduduki Kevin sambil memainkan selempangan tas yang ia sampirkan
pada bahu kirinya.
“Belum.” Sahut kevin sambil merapikan buku-bukunya yang
berserakkan diatas meja.
“Kalo gitu, gimana kalo kita makan si...”
“Aku ada latihan band hari ini. Kamu minta Divas aja ya yang nemenin kamu. Dah.”
“Aku ada latihan band hari ini. Kamu minta Divas aja ya yang nemenin kamu. Dah.”
Kevin mengusap pelan puncak kepala Manda dan berlalu begitu
saja meninggalkan Manda yang bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia
hanya bisa menghela napas panjang.
Ngertiin, dong, Man, ngertiin. Jangan manja. Manda menggumam
pelan. Ia bergegas mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan segera menghubungi
Divas.
“Ada apa, Man?” Terdengar suara Divas dari seberang telpon.
“Makan siang, yuk,”
Hening.
“Gue yang traktir.” Lanjut Manda akhirnya.
“SIAAAAAPPPPP!!!”
Manda menjauhkan ponselnya sejauh rentangan tangan mendengar
antusiasme Divas.
“Buruan!” Lanjutnya kemudian.
***
“Pacar lo yang so sibuk itu emang kemana?” Divas menyuapkan
mi ramen yang menjadi menu makan siangnya kali ini kedalam mulutnya.
“Dia bukannya so sibuk. Tapi emang bener sibuk.” Manda
menyeruput teh hijau miliknya setelah menghabiskan satu porsi sushi pada
restoran Jepang tempat ia dan Divas berada saat ini.
“Ya, terserah elo deh, Man. Belain aja terus pacar lo itu.”
Divas menyeruput kuah ramen miliknya.
“Waaaa enak nih, seger.” Lanjutnya.
“Cepetan, kenapa? Ayo lanjut jalan, tujuan kita kesini kan
buat nyari ide hadiah apa yang pas buat Kevin.” Manda memasukkan ponselnya
kedalam tasnya kemudian ia sampirkan pada bahu kanannya.
“Kita?” Divas menaikkan sebelah alisnya.
“Cepet, Kampret!” Manda melemparkan tissue kearah Divas.
***
Nada dering tanda panggilan masuk dari ponsel yang akhirnya
membuat Kevin terjaga.
“Hmm?”
“Aku udah didepan kost-an kamu nih. Aku juga bawain kamu
nasi uduk. Bukain pintunya dong. Aku ketok-ketok, kamunya ngga keluar-keluar.
Aku pengen gedor-gedor ntar yang ada aku malah ganggu anak-anak sebelah” Manda
berceloteh panjang lebar.
“Bentar.” Kevin bangkit dari kasurnya dan bergegas
membukakan pintu untuk Manda.
“Ya ampun Kevin, kamar kamu udah ngga berbentuk gini. Kamu
mandi dulu sana biar aku yang beresin.” Manda memunguti beberapa pakaian Kevin
yang tergeletak begitu saja dilantai.
Kevin memperhatikan Manda sebentar. Lalu ia segera mengambil
handuk dan langsung masuk ke kamar mandi.
Kevin terdiam begitu ia keluar dari kamar mandi. Kamarnya
sudah benar-benar rapi. Buku-buku yang tadi berserakkan sudah berada pada
tempatnya semula. Bungkus-bungkus sisa makanan ringan sudah tidak berserakkan
dimana-mana. Pakaian kotornya sudah ada pada tempat khusus pakaian kotor.
“Kev, kamu ngga punya piring?” Manda berseru dari dapur
kecil yang tersedia di kost-an Kevin.
“Ada. Coba aja cari di lemari mak....”
“Aw.”
Kevin bergegas menghampiri Manda. Manda sedang memegangi
telunjuknya yang sudah meneteskan buliran berwarna merah segar. Telunjuk Manda
mengenai pinggiran piring yang ternyata sedikit pecah.
“Sorry lupa. Kemaren piringnya kebentur. Jadi yah kayak
gini, deh.” Kevin bergegas untuk mengambil perban kecil pada kotak P3K di kamarnya.
Manda mengikutinya dari belakang.
“Sip, beres.” Kevin bangkit setelah selesai membalut luka
pada jari telunjuk Manda di ruang tengah kost-annya.
“Mana nasi uduknya?” Lanjutnya.
“Masih didapur. Dimeja samping kulkas.” Manda menjawab
sambil memegangi telunjuknya yang terasa nyeri.
“Kev,”
Kevin menoleh.
“Makasih, ya.” Manda menyunggingkan senyum termanisnya.
Kevin berlalu begitu saja tanpa menghiraukan ucapan terima
kasih dari Manda.
“Oiya,” Kevin menghentikan langkahnya kemudian memutar
badannya.
“Barusan aku dapet kabar dari Dion, hari ini ada latihan
terakhir dirumah dia buat manggung besok. Dia juga minta supaya kamu ikut.”
Senyum Manda merekah.
“Tapi, ntar jangan ngeganggu.” Lanjut Kevin tegas.
Manda menggeleng bersemangat sambil terus menyunggingkan
senyum lebarnya.
***
“Woy, Kev! Akhirnya dateng juga. Lama banget sih lo.” Dion
berseru dan bangkit dari tempat duduknya.
“Anak-anak udah nunggu diatas, tuh. Btw, Manda mana?”
Lanjutnya.
“Sorry, bro. Macet parah tadi.” Sahut Kevin kemudian. Sambil
menyambut salaman khas mereka ketika bertemu.
“Hai, Dion.” Manda muncul dari balik punggung Kevin. Senyum
ceria Manda mengembang.
“Hai Manda. Apa kabar? Lama juga kita ngga ketemu.” Dion
menghampiri Manda.
“Wah iya, ya terakhir ketemu kalo nggak salah dua bulan yang
lalu. Aku baik. Kamu sendiri gimana? Btw, sekarang udah punya pacar apa masih
jones?” Manda menjawab sekaligus meledek Dion yang Manda tau, sampai sekarang
ini baru sekali berpacaran. Dion adalah teman dekatnya yang juga teman sekelas
Kevin saat SMA.
“Ya ampun, Man, pertanyaan lo retoris banget.” Dion
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sambil memasang mimik muka kesal yang
dibuat-buat.
“Becanda, Di. Mukanya biasa aja dong.” Manda tertawa. Tawa
lepasnya membuat Kevin yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya menoleh
kearahnya sebentar. Aneh. Tapi begitu mendengar tawa itu Kevin merasakan rasa
hangat menjalar keseluruh tubuhnya.
“Man, selamat ulang tahun ya. Semoga makin cantik, makin
pinter, sukses sama kuliah elo, langgeng juga ama Kevinnya.” Dion menjulurkan
tangannya bermaksud untuk mengucapkan selamat kepada Manda.
Manda terpaku selama beberapa saat. Kevin bahkan belum
ngucapin selamat ke aku. Batinnya.
“Oiya,” Dion masuk sebentar kesebuah ruangan dan kembali
dengan sesuatu tergenggam ditangannya. Sebuah bungkusan berwarna biru cerah,
sesuai dengan warna favorite Manda dan berpita biru tua. Terlihat manis.
“Nih, buat lo.” Dion menyerahkan bungkusan tersebut dan
kemudian Manda meraih dengan tangan kanannya.
“Makasih banyak ya, Di.” Manda hanya bisa membalasnya dengan
senyum yang semakin merekah.
“Happy Anniversary juga ya. Nggak nyangka hubungan lu ama
Kevin bertahan ampe sekarang.”
Dion melanjutkan tanpa memperhatikan keterkejutan yang
muncul lagi pada wajah Manda.
“Wah, Si Kevin ngasih apaan tuh?” Dion menunjuk paper bag
biru donker yang sedari tadi didekap Manda dengan sebelah tangan lainnya.
Kevin menoleh mendengar namanya disebut.
Baru saja Manda akan membuka mulut, Kevin bangkit dari
tempat duduknya.
“Weh, Di, ayo buruan.” Kevin bergegas menuju studio musik
sederhana yang berada dilantai atas rumah Dion.
“Yaudah, Man, lo tunggu disini yak. Kalo butuh apa-apa atau
pengen makan siang panggil aja Mbok Mina. Oke?”
“Siap, Kapten!” Manda meletakkan ujung telunjuk dan
jari-jari lainnya pada pelipisnya.
***
“Kev, Kok kayaknya lo cuek gitu ya sama Manda?” Dion
berjalan bersisian dengan Kevin menuruni anak-anak tangga seusai latihan.
Ketiga orang teman Dion yang juga merupakan anggota band tersebut telah
bergegas pulang lebih dulu.
Hening.
“Dia cantik, baik, pinter. Bakal jarang nemuin cewek kaya
gitu. Sayang kalo ampe lo sia-siain dia.” Dion melanjutkan.
Kevin menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan menatap Dion
tepat dimanik mata.
“Kan ada elo. Lo kakak-kakak-an dia kan? Jagain dialah kalo
entar gue beneran nyia-nyiain dia.” Kevin tertawa renyah sambil kemudian
melangkah kembali menuruni anak tangga. Dion hanya menatapnya. Bingung dengan
jalan pikiran Kevin.
“Hai.” Manda menyapa tanpa mengalihkan pandangan dari
permainan “Temple Run” pada Android miliknya begitu menyadari kehadiran Dion
dan Kevin.
“Yah mati kan.” Manda menoleh begitu karakter dalam
permainannya kalah.
“Ayo, Man.” Kevin berlalu begitu saja melewati sofa yang
diduduki Manda.
“Eh? Ng...tunggu, Kev.” Manda bergegas memasukkan ponselnya
dan langsung melangkah menyusul Kevin. Tak lupa ia melambaikan tangan pada
Dion.
“Thank’s for everything ya, Di.” Manda tersenyum sambil
melambaikan tangannya.
Dion tersenyum sambil tetap memandangi punggung Manda yang
perlahan menghilang dibelokan pintu masuk.
“Andai gue bisa memperlakukan lo dengan lebih baik, Man.” Dion
tersenyum getir.
***
“Man, maaf kayaknya aku ngga bisa nganterin sampe kost-an
kamu. Aku kayaknya mesti balik kerumah Dion. Nggak papa, kan?” Kevin berkata
sesampainya mereka diseberang jalan gang menuju kost-an Manda. Mereka, atau
lebih tepatnya Kevin memutuskan untuk merayakan hari ulang tahun Manda
sekaligus hari jadi hubungan mereka dengan makan malam disebuah restoran
favorit mereka, dulu.
“Nggak papa, kok.” Manda membuka pintu disampingnya.
“Oiya, Kev. Makasih ya,”
“Buat semuanya.” Manda melanjutkan sambil menyunggingkan
seulas senyum tipis.
Manda membuka pintu mobil disampingnya dan bergegas turun.
Entah mengapa Kevin merasakan ada suatu hal yang aneh.
Berbeda. Seperti ia tidak akan melihat senyuman itu lagi. Senyuman yang harus
ia akui bisa menghangatkan hatinya. Membuat suasana disekitar menjadi lebih
hangat. Membuatnya ingin tersenyum juga.
Kevin membunyikan klakson mobilnya dan bergegas meninggalkan
Manda yang masih mematung ditempatnya..
***
“Siapa sih, bawel amat nelponin terus.”
Kevin membiarkan ponselnya berdering berkali-kali dan tidak
berniat untuk menjawabnya karna ia masih berada dibelakang kemudi sedan hitam
miliknya.
Saat traffic lights berubah warna menjadi warna merah, ia
langsung berhenti dan berniat untuk mengangkat telpon tersebut. Baru saja
Kelvin meraih ponsel dari jok disebelahnya dering ponsel tersebut berhenti.
Berganti dengan tanda pesan masuk.
“Divas?” Seperempat pertanyaan, tigaperempat lainnya
merupakan pernyataan karena muncul nama “Ms. Jutek” pada ponselnya. Ia sengaja
memberikan nama itu karna ia merasa Divas adalah cewek terjutek yang pernah ia
kenal. Yang Kevin tau juga, cewek satu itu tidak akan menghubunginya atau
bahkan sekadar SMS kalau hal tersebut tidak penting dan tidak berkaitan dengan
Manda.
“Manda
kecelakaan. Skrg ada di RS.”
Seketika napas Kevin tercekat. Tangannya bergetar hebat.
Tanpa disadari keningnya menjadi sedikit basah oleh keringat dingin yang
tiba-tiba muncul, padahal ia menyalakan pendingin udara pada mobilnya. Tiba-tiba ia merasakan sulitnya bahkan hanya
untuk menelan ludahnya sendiri. Ia memutar kemudinya dengan gusar untuk
berbalik arah. Ia tdika perduli dengan kenadaraan-kendaraan dibelakangnya yang
mencecarnya dengan klakson berkali-kali.
Manda, semoga kamu nggak kenapa-napa.
***
Bau khas rumah sakit langsung terasa begitu Kevin
melangkahkan kakinya dengan terburu-buru ke ruang UGD dimana Manda dirawat.
Langkah Kevin terhenti begitu melihat Divas sudah berada dikursi panjang
didepan ruang tersebut. Pundak Divas bergetar tak menentu mengikuti isak
tangisnya. Sedangkan laki-laki disampingnya, yang sedang membenamkan wajah pada
kedua tangannya itu..
“Dion.”
Dion dan Divas menoleh. Kevin tidak benar-benar bisa membaca
raut wajah Dion saat ini. Marah, sedih, takut, menyesal semua terpancar pada
wajah yang biasanya selalu memancarkan keceriaan itu. Sedangkan Divas, matanya
begitu sembab dnegan hidung yang benar-benar memerah. Menatap Kevin seperti
akan mencakar dan menghajar Kevin habis-habisan.
Kevin melangkah dengan hati-hati menghampiri Dion dan Divas
yang masih terduduk dikursinya.
Dion menoleh kesamping dan meraih paper bag yang ternyata
tidak sengaja tertinggal dirumahnya. Dion menyodorkan paper bag tersebut pada
Kevin. Kevin mematung ditempatnya, menyadari bahwa paper bag itu adalah paper
bag yang barusan dibawa Manda. Kevin menatap Dion dan Divas bergantian.
“Ketinggalan dirumah gue.” Suara Dion terdengar serak namun
tegas.
Kevin mengulurkan tangannya meraih paper bag tersebut. Ia
melangkahkan kakinya menuju kursi kosong diseberang Dion. Kevin mengambil
bungkusan didalam paper bag tersebut. Dibungkus rapi dengan bungkusan berwarna
abu-abu polos. Warna kesukaan Kevin. Kevin menyobek bungkusan tersebut dengan
hati-hati. Sebuah lukisan dengan bingkai sederhana namun terlihat manis.
Lukisan dirinya yang
tengah memegang kue ulang tahun dengan lilin bertuliskan angka “15” dan Manda
yang tengah memegang boneka Panda, hadiah lainnya yang ia berikan. Kejadian empat
tahun lalu. Saat ia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya pada Manda
sekaligus memberikan Manda kejutan dihari ulang tahunnya. Ia kemudian mengingat
bagaimana perasaannya yang tidak menentu sebelum hari dimana ia berani
menyatakan semuanya. Setelah yakin, ia meminta bantuan Dion yang merupakan teman
baiknya dan juga teman baik Manda untuk membantunya memberikan kejutan untuk
Manda.
Kevin memejamkan kedua matanya. Menghela napas panjang dan
kemudian menghembuskannya perlahan.
“Hari ini Manda ulang tahun.” Kevin bergumam lebih kepada
dirinya sendiri.
Kemudian ia
membenamkan wajahnya pada kedua tangannya
“Kalo sampe terjadi sesuatu sama Manda,”
Kevin menoleh dan mendapati mata Dion yang menatapnya dengan
tatapan membunuh.
“Gue ngga akan pernah maafin lo.” Lanjut Dion kemudian.
Hening.
Beberapa menit kemudian seorang dokter keluar dari ruang
UGD.
Dion, Divas, dan Kevin bangkit dari kursi masing-masing
hampir bersamaan.
“Maaf, tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin.”
Seketika Kevin merasakan sesak yang teramat sangat. Seperti
ada sesuatu yang menghantam dadanya. Membuat napasnya menjadi semakin tidak
teratur. Wajahnya pucat pasi. Dan kemudian ia merasakan semuanya menjadi
gelap..
***
Kevin
Demi Tuhan, mimpi macam apa barusan?
Aku bangkit segera dari tempat tidurku dan duduk membisu
dipinggiran tempat tidur. Membenamkan wajahku pada kedua telapak tangan.
Napasku masih tidak teratur dan aku menyadari segera bahwa keningku sudah basah
oleh keringat.
Demi Tuhan, Mimpi itu seperti nyata.
Aku sedikit terlonjak ketika tiba-tiba ponselku berdering.
Manda?
“Kev?”
“Y...ya?”
“Akhirnya...Aku pikir ngga bakalan diangkat telponnya. Aku
udah ada didepan pintu kost-an kamu nih. Bukain dong. Kalo aku gedor-gedor
takut ngeganggu yang lain. Aku juga bawain kamu sarapan.”
Aku hanya mematung sambil memegang ponsel dengan tangan
kananku.
“Kev?”
Suara Manda membuyarkan lamunanku.
“Iya, aku bukain. Tunggu sebentar.” Aku memutus telpon dan
meletakkan ponselku dimeja disamping tempat tidur.
“Hai Kevin. Selamat pagi.” Ah suara itu, suara cempreng yang
sangat khas dan familiar ditelingaku. Siapa lagi kalau bukan suara Manda? Suara
dari gadis berusia 19 tahun yang anehnya malah membuat seluruh tubuhku langsung
menghangat dan membuat segala sesuatunya terasa lebih nyaman dan terasa benar.
“Pagi.” Balasku singkat. Ia langsung masuk saja ke
ruanganku. Ya, memang selalu begitu.
“Ampun deh, dasar cowok. Kamar ampe berantakan kayak gini.
Kamu mending mandi, aku yang beresin barang-barang ini terus abis itu kita
sarapan.” Manda meletakkan tas yang sebelumnya ia sampirkan pada bahu kanannya
kemudian mengangkat tangannya yang memegang plastik hitam sambil menggoyang-goyangkan
bungkusan tersebut didepan wajahnya. Sepertinya plastik itu berisi...
“Nasi uduk?”
“Hooh. Kok tau?” Manda menurunkan tangannya dan balik
bertanya.
“Nebak aja.” Balasku akhirnya.
“Udah sana buruan mandi.” Manda mulai merapikan ruanganku.
Aku menghela napas dan menghembuskannya perlahan
memperhatikan semua yang dilakukan Manda sebelum akhirnya aku bergegas mandi.
Aku keluar dari kamar mandi dan kemudian sedikit terkejut
melihat kamarku, dan ruang tengah yang sudah rapi. Benar-benar rapi.
“Kev, kamu ngga punya piring ya?”
Aku mendengar Manda berseru dari dapur kecil di kost-anku.
“Ada. Coba aja cari di...”
Aku segera berlari sebelum menyelesaikan kalimatku sambil
menghampiri Manda, dan benar saja, ia tengah memegangi jari telunjuknya yang
sudah meneteskan cairan segar berwarna merah.
Aku meraih jarinya yang terluka dan menyesap darahnya yang
terus menerus menetes. Kemudian aku membawanya keruang tengah untuk segera
memplester lukanya.
“Nah, sekarang beres.” Aku menatap gadis manis didepanku
yang masih menatap lukanya dnegan wajah bingungnya.
“Man,”
Manda menoleh menatapku, masih dengan tatapan bingungnya.
Aku balas menatapnya tepat dimanik mata.
“Selamat ulang tahun ya.” Aku mendekatkan wajahku dengannya.
Dan kemudian mengecup bibir mungilnya selama beberapa detik.
“Happy Anniversary too.” Aku tersenyum. Setelah beberapa
detik, Manda pun akhirnya ikut tersenyum menatapku.
“Makasih, Kev. Makasih banyak.” Manda hampir saja
menjatuhkan buliran bening dari kedua matanya sebelum aku mencegah buliran
bening itu benar-benar menetes.
“Kamu tau? Kamu adalah orang paling cantik kedua didunia.”
“Kedua?”
Aku mengangguk.
“Yang pertama siapa?” Manda kembali bertanya.
Aku tersenyum. “Kamu.....pas lagi senyum.”
Manda mendorongku pelan dan aku gantian mencubit kedua
pipinya yang tembam.
“Sekarang mana nasi uduk aku?” Aku kemudian mengingat nasi
uduk yang tadi dibawa oleh Manda setelah merasakan perutku yang mulai
keroncongan.
“Masih didapur. Biar
aku yang ambilin ya?”
Baru saja aku membuka mulut untuk menjawab pertanyaan manda,
aku mendengar ponselku berdering.
“Hmm yaudah. Aku mau ngambil HP dulu, ya, dikamar.”
Manda mengangguk bersemangat.
“Woy, Kev. Lo jadi kerumah gue kan? Ajak si Manda ya. Oiya,
Happy anniversary buat kalian berdua. Semoga sama langgengnya kayak kejombloan
gue.”
KLIK. Telpon diputus begitu saja oleh Dion bahkan sebelum
aku sempat mengucapkan sepatah kata.
“Man, aku ada latihan hari ini dirumah Dion. Kamu mau ikut,
kan? Si Dion juga nyariin kamu tuh.” Aku duduk disofa yang telah diduduki oleh
Manda.
“Mauuuu!! Mau banget!” Manda mengangguk semangat.
***
“Wahai Dion Sang Jones Abadi! Dimana kamuuuuuuuu?” Manda
berseru ketika memasuki rumah Dion.
“Hei!” Dion berlari kecil menghampiri Manda. Senyumnya terus
mengembang.
“Cie, selamat ulang tahun ya. Makin cantik dan semoga gue
dapet pacar!”
Aku tersenyum geli mendengar ucapan Dion untuk Manda.
“Makasih dan amin ya, Di.” Ucap Manda disela tawanya.
“Oh iya, ini buat elo, Man. Sorry ngga sempet dibungkus.”
Astaga, aku belum menyiapkan apa-apa untuk Manda.
“Eh? Waaaaaaaaa makasih Dion. Ini buku emang udah gue incer
dari kapan tau. Makasih ya makasih, makasih, makasihhhh.” Manda menyubiti kedua
pipi Dion.
“Ehem,”
Manda refleks menurunkan tangannya dan Dionpun akhirnya
menoleh seakan baru menyadari kehadiranku.
“Eh iya, hampir lupa kalo ada elo, Kev.” Dion terkekeh dan
kemudian mengulurkan tangannya. Akupun langsung menyambutnya dengan salaman
khas yang biasa aku dan Dion lakukan.
“Happy anniversary juga ya buat kalian. Udah berapa tahun
ya?” Dion menunjuk jari-jari tangannya sambil menghitung tanpa suara.
“Ah empat! Gilak, kalian udah empat tahun dan selama itu
pula gue jomblo!”
Aku dan Manda tertawa geli mendengar perkataan Dion.
“Ah kalian ngga asik. Bukannya cariin cewek atau apa kek
gitu buat gue. Malah puas ngetawain kayak gitu. Seneng banget ngeliat temen
menderita.” Aku melihat Dion memasang mimik muka kesla yang dibuat-buat yang
kemudian malah membuat aku kembali tertawa.
“Udah ah lo jangan curcol terus. Mending langsung aja
keatas. Pasti mereka udah nunggu kan?”
Sahutku setelah tawaku mereda.
“Yaudah ayo. Man, gapapa kan ditinggal sendiri? Kevinnya
dipinjem sebentar doang ko. Abis itu kalian bisa ngerayain hari kalian berdua
sepuasnya. Oke?”
“Siap, selama ada makanan dan ini.” Manda menunjuk Ipod yang
digenggamnya.
“Yaudah aku tinggal sebentar ya, Man.” Manda mengangguk dan
tersenyum kearahku. Baru aku sadari aku sudah cukup lama tidak melihat gadis
itu tersenyum semanis itu. Khususnya kepadaku. Yah, mungkin akhir-akhir ini aku
berubah menjadi seorang laki-laki cuek. Atau memang brengsek? Ah, iya, dulu aku
memang sempat mengabaikan gadis itu.
***
“Sekarang kamu mau kemana?” Aku bertanya pada Manda setelah keluar
dari halaman rumah Dion. Dua jam berlalu dan akhirnya latihan hari inipun
selesai.
“Kemana ya?” Manda mengetuk-ngetuk bibirnya dengan jari
telunjuk.
“Makan ketempat biasa aja yuk?”
“Ngidam masakan Itali nih ceritanya?” Sahutku sambil
sesekali menoleh kearahnya.
“Aku...maksudnya, kita, udah lama ngga kesana.” Manda
menyahut datar sambil menatap jendela disampingnya. Aku mengerti apa maksud
dari pernyataan Manda barusan.
“Man.”
“Ya?” Manda menoleh.
“Maaf ya.”
“Buat apa?”
“Buat semua kesalahan-kesalahan aku. Aku...” Aku ragu untuk
meneruskan kalimatku barusan.
“Udah jahat sama kamu.” Lanjutku akhirnya. Baru kusadari aku
sempat menahan napasku selama beberapa detik.
Manda hanya tersenyum. Tulus.
“Kamu ngga pernah ngebikin aku ngerasa dijahatin sama kamu,
Kev.”
Kevin mengusap pelan pipi Manda. Dan dapat Kevin rasakan
pipi Manda menghangat dan wajahnya menjadi sedikit memerah.
***
“Buat kamu.”
Tiba-tiba Manda menggeser bungkusan berwarna abu-abu polos
kearahku.
Aku dan Manda akhirnya sepakat mampir ke restoran Itali yang
dulu sering aku kunjungi bersama Manda untuk makan malam dan sekarang aku dan
Manda sedang menunggu pesanan datang.
Aku mengerutkan kening. Bingung.
“Hadiah buat hari jadi kita.” Manda tersenyum.
“Buka deh.” Lanjutnya.
Aku membuka perlahan bungkusan tersebut. Demi Tuhan, jangan
sampai bungkusan ini berisi....
“Lukisan.”
Aku mendongak dan melihat Manda menganggukan kepalanya
dengan senyum yang mengembang.
Aku benar-benar
merasa De Javu. Demi Tuhan, aku
pernah mengalami hal ini. Mendapatkan lukisan dengan objek aku yang sedang
memegang kue ulang tahun dengan lilin bertulisan angka ‘15’ serta Manda yang
tengah memegang boneka panda hampir seukuran tubuhnya saat itu. Tanganku
sedikit gemetar. Perasaan cemas dan khawatir mulai berkelebat dalam otakku. Ini
persis. Persis sama dengan mimpi sialan itu tadi pagi. Dan, bagaimana kalau
akhirnya nanti aku mendapat kabar bahwa Manda...
“Kev? Gimana? Kamu suka?”
Pertanyaan Manda membuyarkan lamunanku yang sudah mulai
sedikit ngelantur.
“Suka. Suka banget. Makasih banyak, Man.” Aku masih terpaku
pada lukisan yang sekarang tengah aku pegang. Aku baru menyadari tanganku
gemetar. Dan yah, aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
“Aku senneg kalo kamu suka. Samasama, Kev.”
Manda
“Kemana sih, si Kevin. Baru ditinggal ke toilet sebentar
udah ngilang aja.”
“Hai, Man.”
Ah akhirnya.
“Sorry ya. Ada urusan sebentar.”
“Iya gapapa.” Aku menyunggingkan seulas senyum.
“Jadi, Tuan Puteri, apa kita langsung kembali ke istana?”
Aku terkekeh geli.
“Tentu saja.”
***
“Kamu...Mau nganter aku sampe depan kostan aku?” Aku bertanya
ragu. Aku merasa seperti ada sesuatu yang salah terjadi pada Kevin. Dan aku
pikir setelah aku memberikan lukisan tersebut padanya. Apa mungkin ia tidak
suka dengan hadiah yang aku berikan di restoran tadi?
“Iya Sayang.” Kevin melepaskan seatbeltnya. Dan kemudian
membuka pintu disampingnya. Akupun mengikuti. Jalanan cukup lenggang padahal
waktu masih menunjukkan pukul 8.30 malam.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy
birthday, happy birthday, happy birthday to you. Aku sayang kamu, Man.”
Aku terkesiap mendapati Kevin yang tengah memegang cake,
atau lebih tepatnya cheese cake dengan lilin yang tertancap berbentuk angka
1,9, dan 4.
“Apa aku setua itu?” Aku bertanya sambil menahan tawaku.
“Untuk ulang tahun kamu ke sembilanbelas. Dan untuk hari
jadi kita ke empat tahun.” Kevin tersenyum. Sungguh, aku merindukan senyuman
ini.
“Tiup dong. Dan jangan lupa, buat wish-nya.”
Aku menggigit bibir.
“Oke.” Sahutku akhirnya.
Aku memejamkan mata selama duapuluh detik penuh. Dan akupun
meniup ketiga lilin tersebut.
Kevin meletakkan cake tersebut dan bertepuk tangan seraya
memelukku. Wangi parfum segera menyeruak kedalam hidungku. Membuatku secara
refleks menarik lengkung pada sudut bibirku.
“Kamu tau, Kev?” tanyaku yang masih berada dalam dekapannya.
“Hm?”
“Kamu orang paling ngga romantis yang pernah aku kenal.”
Kemudian aku merasakan tawa Kevin di pundakku. Sangat
menghangatkan di udara sedingin ini.
“Tapi, aku sayang sama kamu.” Lanjutku akhirnya.
Kevin melepas pelukannya dan mencium keningku.
Aku berharap waktu dapat berhenti. Seperti ini lebih baik
karena semua terasa begitu benar.
***
“Tuan Puteri. Sekarang anda telah sampai didepan istana.”
Aku terkekeh pelan mendengar ucapan Kevin.
“Oh iya, aku pengen besok kamu pake ini. Kita dinner berdua.
Buat ngerayain hari kita secara lebih resmi dan lebih romantis.” Kevin
mengulurkan kotak berwarna biru muda dengan pita berwarna biru tua.
“Apa ini?” Tanyaku bingung.
“Buka aja.”
Akupun membuka kotak yang terlihat sederhana namun manis tersebut.
Aku tercengang begitu melihat isi dari kotak tersebut. Sebuah...
“Dress?” Seperempat pertanyaan sementara tigaperempat
lainnya pernyataan meningat isi dari bungkusan tersebut adalah sebuah dress
hitam dengan renda sederhana pada bagian dada.
Aku mendongak menatap Kevin. Aku sempat ragu mengingat aku
sangat tidak suka memakai pakaian semacam dress, gaun, atau sejenisnya. Namun, “Baiklah,
demi kamu.”
“Besok aku jemput jam 7. Dadah.”
Kevin berlalu begitu saja. Begitu aku membalikkan badan
hendak membuka pintu, Kevin kembali menyerukan namaku.
“Man.”
Aku menoleh. Kevin berlari menghampiriku dan mengecup puncak
kepalaku.
“Makasih, makasih buat semuanya.”
Aku mematung selama beberapa detik dan ketika aku sadar
Kevin sudah tidak ada dihadapanku.
“Samasama, Kev.”
***
Dering ponsel tanda panggilan masuk yang akhirnya membuatku
terjaga. Aku melirik sekilas jam di meja disamping tempat tidurku. 11:50. Siapa
orang yang cukup rajin untuk menelpon ku tengah malam begini? Aku menggerutu
dalam hati. Aku meraba meja tersebut masih dengan mata terpejam dan setelah
beberapa detik aku berhasil mendapatkan ponsel yang tadinya tergeletak di meja
disamping tempat tidurku tersebut.
“Manda.”
Dion rupanya.
“Ya?” Sahutku dengan sebelah tangan menutup mulutku yang
sedang menguap.
“Kevin. Kevin kecelakaan dan sekarang kritis.”
Deg. Demi Tuhan aku merasakan jantungku berhenti beberapa
detik. Aku harap ini hanya bunga tidur. Hanya mimpi. Dan demi apapun ini adalah
mimpi terburuk dalam hidupku.
***
Tiga Tahun Kemudian
Aku pikir sekarang aku masih
bermimpi. Mimpi buruk yang dimulai tiga tahun lalu. Entahlah, apa mungkin mimpi
buruk sampai selama ini? Entah apa yang menggerakkanku menuju tempat ini.
Karena, begitu sadar, tibalah aku pada tempat ini. Tiba-tiba aku merasakan
bahkan sulitnya hanya untuk bernapas. Rasanya seperti ada yang mengganjal
tenggorokanku sehingga membuat napasku tercekat. Rasa sesak ini benar-benar
mengangguku. Aku melekuk kedua kakiku sehingga dapat terduduk diatasnya. Aku menarik
napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
“Hai, Kev.”
Aku mengatur napasku yang mulai tidak beraturan.
“Apa kabar kamu? Pasti baik kan? Lama ya kita ngga ketemu." Aku tersenyum simpul.
"Oh iya, aku pakai dress yang kamu kasih ke aku waktu itu, loh.”
"Oh iya, aku pakai dress yang kamu kasih ke aku waktu itu, loh.”
Pandanganku mulai memburam dan setetes air mata meluncur
bebas dari mataku. Aku mencoba menghapusnya dengan punggung tangan. Dan
berharap tetesan berikutnya tidak akan turun menyusul.
“Hari ini aku ulang tahun, Kev. Ke 22.”
Jeda sejenak.
“Tujuh tahun lalu aku mendapat hadiah terindah saat ulang
tahun aku, Kev. Kado yang Tuhan kasih buat aku.”
Butiran bening lainnya kemudian ikut menyusul dan aku tidak
berusaha untuk menghapusnya. Sia-sia. Percuma.
“Buat jadi penyemangat aku, buat nemenin dan ngejaga aku.
Buat ngelindungin aku. Buat jadi orang yang pertama ngehapus air mata aku. Buat jadi
orang yang selalu bikin aku seneng, dan ngehibur aku saat aku sedih, buat jadi
orang yang selalu ada buat aku.”
Bahuku naik turun mengikuti isak tangisku yang semakin
menjadi.
“Buat jadi orang....”
“Yang akhirnya aku sayang.”
“Tapi tepat empat tahun kemudian, Tuhan ngambil lagi hadiah
itu dari aku, dan saat itu aku sadar kalo hadiah itu ngga sepenuhnya buat aku.
Tuhan cuma nitipin itu sementara buat aku. Setelah itu ngga ada lagi orang yang
jadi penyemangat aku, ngga ada lagi orang yang ngelindungin dan ngejaga aku.
Ngga ada lagi orang yang bisa bikin aku tersenyum walaupun dia ngga ngelakuin
apa-apa. Ngga ada lagi orang yang bikin hidup aku bisa jauh lebih menyenangkan
dan lebih berwarna.”
“Aku yakin kamu tau,
Kev. Hadiah itu kamu, Kev. Kamu.”
Aku mencoba menghapus air mata yang sudah membanjiri wajahku
dengan punggung tangan. Aku memaksakan seulas senyum tipis dengan isak tangisku
yang belum mereda.
"Cuma kamu, Kev, yang bisa bikin aku ngerasa memiliki dan kehilangan dalam waktu yang bersamaan. Kamu datang dan pergi dihari yang harusnya menjadi hari istimewa buat aku."
Aku kembali menarik napas panjang. Dan menghembuskannya perlahan. Aku lakukan itu berulang-ulang demi meredakan isak tangisku yang semakin tidak terkendali. Dan setelah tangisku mereda,
"Cuma kamu, Kev, yang bisa bikin aku ngerasa memiliki dan kehilangan dalam waktu yang bersamaan. Kamu datang dan pergi dihari yang harusnya menjadi hari istimewa buat aku."
Aku kembali menarik napas panjang. Dan menghembuskannya perlahan. Aku lakukan itu berulang-ulang demi meredakan isak tangisku yang semakin tidak terkendali. Dan setelah tangisku mereda,
“Aku mau minta izin sama kamu. Izinin aku
mencintai orang lain. Izinin aku buat ngejadiin orang lain sebagai penyemangat
aku, sebagai orang yang bisa selalu bikin aku tersenyum, sebagai orang yang selalu ada buat aku, sebagai orang yang bisa ngejaga aku. Dan sebagai orang yang bisa aku cintai,”
“Tapi percayalah, di dunia ini bahkan ngga ada yang bisa
gantiin posisi kamu dihati aku. Kamu selalu punya ruang tersendiri dihati aku
yang ngga bisa ditempatin orang lain. Siapapun itu.”
Jeda sejenak. Aku mencoba menarik napas. “Jadi sekali lagi, izinin aku buat bisa sayang sama orang
lain, Kev. Kamu mau kan?”
“Happy anniversary. Buat kita yang ketujuh tahun.”
Aku meletakkan seikat bunga mawar putih segar didekat batu nisan dihadapanku.
“Manda.”
Aku menoleh mendengar suara yang sudah mulai familiar
ditelingaku.
Aku bangkit dan laki-laki dihadapanku langsung menarikku
kedalam pelukannya. Hangat, dan membuatku merasa sedikit lebih tenang.
“Gue bakal jagain Manda, Kev. Gue janji. Dan lo bisa pegang
janji gue.”
Ini bukan mimpi buruk, mungkin ini merupakan sebuah permulaan dari
kisah selanjutnya yang akan aku jalani kedepan...bersama orang yang aku
sayangi, Dion.
TAMAT
No comments:
Post a Comment