Wednesday, June 19, 2013

The Last Thing


Manda terpekur didepan laptopnya. Bingung dengan sesuatu yang akan ia berikan pada kekasihnya, Kevin. Seminggu lagi mereka akan merayakan hari jadian mereka yang keempat tahun. Hubungan mereka dimulai semenjak SMA. Kelas sebelas tepatnya.
“Man?”
Terdengar suara pintu dibuka. Manda −dengan posisi telungkup sambil menggoyangkan kedua kakinya dengan telapak kaki mengarah kelangit-langit kamar kost-annya  menoleh
Kepala Divas menyembul dari balik pintu.
“Eh, kamu, Div, masuk aja.” Manda mengalihkan kembali perhatiannya pada laptop dihadapannya.
 “Lo ngapain jam segini masih melek?” Divas menghampiri Manda yang tengah sibuk dengan laptopnya.
“Lah? Kamu sendiri kenapa belom tidur? malah mampir ke kamar aku.” Manda balik bertanya.
“Gue ngga bisa tidur. Insom kambuh nih kayaknya. Nah, elo ngapain?” Divas duduk dipinggiran tempat tidur Manda.
Manda langsung bangkit dari posisinya semula dan langsung menatap sahabat dihadapannya.
“Nyari ide buat ngasih Kevin hadiah. Minggu depan gue empat tahunan, loh, sama dia.” Senyum Manda mengembang. Matanya berbinar.
“Ah elo,” Divas meraih majalah edisi terbaru milik manda di meja belajar disamping tempat tidur sahabatnya.
“Yakali dia inget.” Divas membulak-balik halaman.
Manda menyunggingkan seulas senyum tipis pada bibir mungilnya. Divas bisa merasakan binar pada mata Manda sedikit meredup.
“Eh bentar,”
Manda menoleh.
“Minggu depan? Ya ampun, Manda, itu kan juga hari ultah elo.”
*** 

“Kev, kamu udah makan siang?” Manda berdiri didepan kursi yang sedang diduduki Kevin sambil memainkan selempangan tas yang ia sampirkan pada bahu kirinya.
“Belum.” Sahut kevin sambil merapikan buku-bukunya yang berserakkan diatas meja.
“Kalo gitu, gimana kalo kita makan si...”
“Aku ada latihan band hari ini. Kamu minta Divas aja ya yang nemenin kamu. Dah.”
Kevin mengusap pelan puncak kepala Manda dan berlalu begitu saja meninggalkan Manda yang bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia hanya bisa menghela napas panjang.
Ngertiin, dong, Man, ngertiin. Jangan manja. Manda menggumam pelan. Ia bergegas mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan segera menghubungi Divas.
“Ada apa, Man?” Terdengar suara Divas dari seberang telpon.
“Makan siang, yuk,”
Hening.
“Gue yang traktir.” Lanjut Manda akhirnya.
“SIAAAAAPPPPP!!!”
Manda menjauhkan ponselnya sejauh rentangan tangan mendengar antusiasme Divas.
“Buruan!” Lanjutnya kemudian.
***
“Pacar lo yang so sibuk itu emang kemana?” Divas menyuapkan mi ramen yang menjadi menu makan siangnya kali ini kedalam mulutnya.
“Dia bukannya so sibuk. Tapi emang bener sibuk.” Manda menyeruput teh hijau miliknya setelah menghabiskan satu porsi sushi pada restoran Jepang tempat ia dan Divas berada saat ini.
“Ya, terserah elo deh, Man. Belain aja terus pacar lo itu.” Divas menyeruput kuah ramen miliknya.
“Waaaa enak nih, seger.” Lanjutnya.
“Cepetan, kenapa? Ayo lanjut jalan, tujuan kita kesini kan buat nyari ide hadiah apa yang pas buat Kevin.” Manda memasukkan ponselnya kedalam tasnya kemudian ia sampirkan pada bahu kanannya.
“Kita?” Divas menaikkan sebelah alisnya.
“Cepet, Kampret!” Manda melemparkan tissue kearah Divas.
***
Nada dering tanda panggilan masuk dari ponsel yang akhirnya membuat Kevin terjaga.
“Hmm?”
“Aku udah didepan kost-an kamu nih. Aku juga bawain kamu nasi uduk. Bukain pintunya dong. Aku ketok-ketok, kamunya ngga keluar-keluar. Aku pengen gedor-gedor ntar yang ada aku malah ganggu anak-anak sebelah” Manda berceloteh panjang lebar.
“Bentar.” Kevin bangkit dari kasurnya dan bergegas membukakan pintu untuk Manda.
“Ya ampun Kevin, kamar kamu udah ngga berbentuk gini. Kamu mandi dulu sana biar aku yang beresin.” Manda memunguti beberapa pakaian Kevin yang tergeletak begitu saja dilantai.
Kevin memperhatikan Manda sebentar. Lalu ia segera mengambil handuk dan langsung masuk ke kamar mandi.
Kevin terdiam begitu ia keluar dari kamar mandi. Kamarnya sudah benar-benar rapi. Buku-buku yang tadi berserakkan sudah berada pada tempatnya semula. Bungkus-bungkus sisa makanan ringan sudah tidak berserakkan dimana-mana. Pakaian kotornya sudah ada pada tempat khusus pakaian kotor.
“Kev, kamu ngga punya piring?” Manda berseru dari dapur kecil yang tersedia di kost-an Kevin.
“Ada. Coba aja cari di lemari mak....”
“Aw.”
Kevin bergegas menghampiri Manda. Manda sedang memegangi telunjuknya yang sudah meneteskan buliran berwarna merah segar. Telunjuk Manda mengenai pinggiran piring yang ternyata sedikit pecah.
“Sorry lupa. Kemaren piringnya kebentur. Jadi yah kayak gini, deh.” Kevin bergegas untuk mengambil perban kecil pada kotak P3K di kamarnya.
Manda mengikutinya dari belakang.
“Sip, beres.” Kevin bangkit setelah selesai membalut luka pada jari telunjuk Manda di ruang tengah kost-annya.
“Mana nasi uduknya?” Lanjutnya.
“Masih didapur. Dimeja samping kulkas.” Manda menjawab sambil memegangi telunjuknya yang terasa nyeri.
“Kev,”
Kevin menoleh.
“Makasih, ya.” Manda menyunggingkan senyum termanisnya.
Kevin berlalu begitu saja tanpa menghiraukan ucapan terima kasih dari Manda.
“Oiya,” Kevin menghentikan langkahnya kemudian memutar badannya.
“Barusan aku dapet kabar dari Dion, hari ini ada latihan terakhir dirumah dia buat manggung besok. Dia juga minta supaya kamu ikut.”
Senyum Manda merekah.
“Tapi, ntar jangan ngeganggu.” Lanjut Kevin tegas.
Manda menggeleng bersemangat sambil terus menyunggingkan senyum lebarnya.
***
“Woy, Kev! Akhirnya dateng juga. Lama banget sih lo.” Dion berseru dan bangkit dari tempat duduknya.
“Anak-anak udah nunggu diatas, tuh. Btw, Manda mana?” Lanjutnya.
“Sorry, bro. Macet parah tadi.” Sahut Kevin kemudian. Sambil menyambut salaman khas mereka ketika bertemu.
“Hai, Dion.” Manda muncul dari balik punggung Kevin. Senyum ceria Manda mengembang.
“Hai Manda. Apa kabar? Lama juga kita ngga ketemu.” Dion menghampiri Manda.
“Wah iya, ya terakhir ketemu kalo nggak salah dua bulan yang lalu. Aku baik. Kamu sendiri gimana? Btw, sekarang udah punya pacar apa masih jones?” Manda menjawab sekaligus meledek Dion yang Manda tau, sampai sekarang ini baru sekali berpacaran. Dion adalah teman dekatnya yang juga teman sekelas Kevin saat SMA.
“Ya ampun, Man, pertanyaan lo retoris banget.” Dion menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sambil memasang mimik muka kesal yang dibuat-buat.
“Becanda, Di. Mukanya biasa aja dong.” Manda tertawa. Tawa lepasnya membuat Kevin yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya menoleh kearahnya sebentar. Aneh. Tapi begitu mendengar tawa itu Kevin merasakan rasa hangat menjalar keseluruh tubuhnya.
“Man, selamat ulang tahun ya. Semoga makin cantik, makin pinter, sukses sama kuliah elo, langgeng juga ama Kevinnya.” Dion menjulurkan tangannya bermaksud untuk mengucapkan selamat kepada Manda.
Manda terpaku selama beberapa saat. Kevin bahkan belum ngucapin selamat ke aku. Batinnya.
“Oiya,” Dion masuk sebentar kesebuah ruangan dan kembali dengan sesuatu tergenggam ditangannya. Sebuah bungkusan berwarna biru cerah, sesuai dengan warna favorite Manda dan berpita biru tua. Terlihat manis.
“Nih, buat lo.” Dion menyerahkan bungkusan tersebut dan kemudian Manda meraih dengan tangan kanannya.
“Makasih banyak ya, Di.” Manda hanya bisa membalasnya dengan senyum yang semakin merekah.
“Happy Anniversary juga ya. Nggak nyangka hubungan lu ama Kevin bertahan ampe sekarang.”
Dion melanjutkan tanpa memperhatikan keterkejutan yang muncul lagi pada wajah Manda.
“Wah, Si Kevin ngasih apaan tuh?” Dion menunjuk paper bag biru donker yang sedari tadi didekap Manda dengan sebelah tangan lainnya.
Kevin menoleh mendengar namanya disebut.
Baru saja Manda akan membuka mulut, Kevin bangkit dari tempat duduknya.
“Weh, Di, ayo buruan.” Kevin bergegas menuju studio musik sederhana yang berada dilantai atas rumah Dion.
“Yaudah, Man, lo tunggu disini yak. Kalo butuh apa-apa atau pengen makan siang panggil aja Mbok Mina. Oke?”
“Siap, Kapten!” Manda meletakkan ujung telunjuk dan jari-jari lainnya pada pelipisnya.
***
“Kev, Kok kayaknya lo cuek gitu ya sama Manda?” Dion berjalan bersisian dengan Kevin menuruni anak-anak tangga seusai latihan. Ketiga orang teman Dion yang juga merupakan anggota band tersebut telah bergegas pulang lebih dulu.
Hening.
“Dia cantik, baik, pinter. Bakal jarang nemuin cewek kaya gitu. Sayang kalo ampe lo sia-siain dia.” Dion melanjutkan.
Kevin menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan menatap Dion tepat dimanik mata.
“Kan ada elo. Lo kakak-kakak-an dia kan? Jagain dialah kalo entar gue beneran nyia-nyiain dia.” Kevin tertawa renyah sambil kemudian melangkah kembali menuruni anak tangga. Dion hanya menatapnya. Bingung dengan jalan pikiran Kevin.
“Hai.” Manda menyapa tanpa mengalihkan pandangan dari permainan “Temple Run” pada Android miliknya begitu menyadari kehadiran Dion dan Kevin.
“Yah mati kan.” Manda menoleh begitu karakter dalam permainannya kalah.
“Ayo, Man.” Kevin berlalu begitu saja melewati sofa yang diduduki Manda.
“Eh? Ng...tunggu, Kev.” Manda bergegas memasukkan ponselnya dan langsung melangkah menyusul Kevin. Tak lupa ia melambaikan tangan pada Dion.
“Thank’s for everything ya, Di.” Manda tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Dion tersenyum sambil tetap memandangi punggung Manda yang perlahan menghilang dibelokan pintu masuk.
“Andai gue bisa memperlakukan lo dengan lebih baik, Man.” Dion tersenyum getir.
***
“Man, maaf kayaknya aku ngga bisa nganterin sampe kost-an kamu. Aku kayaknya mesti balik kerumah Dion. Nggak papa, kan?” Kevin berkata sesampainya mereka diseberang jalan gang menuju kost-an Manda. Mereka, atau lebih tepatnya Kevin memutuskan untuk merayakan hari ulang tahun Manda sekaligus hari jadi hubungan mereka dengan makan malam disebuah restoran favorit mereka, dulu.
“Nggak papa, kok.” Manda membuka pintu disampingnya.
“Oiya, Kev. Makasih ya,”
“Buat semuanya.” Manda melanjutkan sambil menyunggingkan seulas senyum tipis.
Manda membuka pintu mobil disampingnya dan bergegas turun.
Entah mengapa Kevin merasakan ada suatu hal yang aneh. Berbeda. Seperti ia tidak akan melihat senyuman itu lagi. Senyuman yang harus ia akui bisa menghangatkan hatinya. Membuat suasana disekitar menjadi lebih hangat. Membuatnya ingin tersenyum juga.
Kevin membunyikan klakson mobilnya dan bergegas meninggalkan Manda yang masih mematung ditempatnya..
***
“Siapa sih, bawel amat nelponin terus.”
Kevin membiarkan ponselnya berdering berkali-kali dan tidak berniat untuk menjawabnya karna ia masih berada dibelakang kemudi sedan hitam miliknya.
Saat traffic lights berubah warna menjadi warna merah, ia langsung berhenti dan berniat untuk mengangkat telpon tersebut. Baru saja Kelvin meraih ponsel dari jok disebelahnya dering ponsel tersebut berhenti. Berganti dengan tanda pesan masuk.
“Divas?” Seperempat pertanyaan, tigaperempat lainnya merupakan pernyataan karena muncul nama “Ms. Jutek” pada ponselnya. Ia sengaja memberikan nama itu karna ia merasa Divas adalah cewek terjutek yang pernah ia kenal. Yang Kevin tau juga, cewek satu itu tidak akan menghubunginya atau bahkan sekadar SMS kalau hal tersebut tidak penting dan tidak berkaitan dengan Manda.
“Manda kecelakaan. Skrg ada di RS.”
Seketika napas Kevin tercekat. Tangannya bergetar hebat. Tanpa disadari keningnya menjadi sedikit basah oleh keringat dingin yang tiba-tiba muncul, padahal ia menyalakan pendingin udara pada mobilnya.  Tiba-tiba ia merasakan sulitnya bahkan hanya untuk menelan ludahnya sendiri. Ia memutar kemudinya dengan gusar untuk berbalik arah. Ia tdika perduli dengan kenadaraan-kendaraan dibelakangnya yang mencecarnya dengan klakson berkali-kali.
Manda, semoga kamu nggak kenapa-napa.
***
Bau khas rumah sakit langsung terasa begitu Kevin melangkahkan kakinya dengan terburu-buru ke ruang UGD dimana Manda dirawat. Langkah Kevin terhenti begitu melihat Divas sudah berada dikursi panjang didepan ruang tersebut. Pundak Divas bergetar tak menentu mengikuti isak tangisnya. Sedangkan laki-laki disampingnya, yang sedang membenamkan wajah pada kedua tangannya itu..
“Dion.”
Dion dan Divas menoleh. Kevin tidak benar-benar bisa membaca raut wajah Dion saat ini. Marah, sedih, takut, menyesal semua terpancar pada wajah yang biasanya selalu memancarkan keceriaan itu. Sedangkan Divas, matanya begitu sembab dnegan hidung yang benar-benar memerah. Menatap Kevin seperti akan mencakar dan menghajar Kevin habis-habisan.
Kevin melangkah dengan hati-hati menghampiri Dion dan Divas yang masih terduduk dikursinya.
Dion menoleh kesamping dan meraih paper bag yang ternyata tidak sengaja tertinggal dirumahnya. Dion menyodorkan paper bag tersebut pada Kevin. Kevin mematung ditempatnya, menyadari bahwa paper bag itu adalah paper bag yang barusan dibawa Manda. Kevin menatap Dion dan Divas bergantian.
“Ketinggalan dirumah gue.” Suara Dion terdengar serak namun tegas.
Kevin mengulurkan tangannya meraih paper bag tersebut. Ia melangkahkan kakinya menuju kursi kosong diseberang Dion. Kevin mengambil bungkusan didalam paper bag tersebut. Dibungkus rapi dengan bungkusan berwarna abu-abu polos. Warna kesukaan Kevin. Kevin menyobek bungkusan tersebut dengan hati-hati. Sebuah lukisan dengan bingkai sederhana namun terlihat manis.
 Lukisan dirinya yang tengah memegang kue ulang tahun dengan lilin bertuliskan angka “15” dan Manda yang tengah memegang boneka Panda, hadiah lainnya yang ia berikan. Kejadian empat tahun lalu. Saat ia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya pada Manda sekaligus memberikan Manda kejutan dihari ulang tahunnya. Ia kemudian mengingat bagaimana perasaannya yang tidak menentu sebelum hari dimana ia berani menyatakan semuanya. Setelah yakin, ia meminta bantuan Dion yang merupakan teman baiknya dan juga teman baik Manda untuk membantunya memberikan kejutan untuk Manda.
Kevin memejamkan kedua matanya. Menghela napas panjang dan kemudian menghembuskannya perlahan.
“Hari ini Manda ulang tahun.” Kevin bergumam lebih kepada dirinya sendiri.
 Kemudian ia membenamkan wajahnya pada kedua tangannya
“Kalo sampe terjadi sesuatu sama Manda,”
Kevin menoleh dan mendapati mata Dion yang menatapnya dengan tatapan membunuh.
“Gue ngga akan pernah maafin lo.” Lanjut Dion kemudian.
Hening.
Beberapa menit kemudian seorang dokter keluar dari ruang UGD.
Dion, Divas, dan Kevin bangkit dari kursi masing-masing hampir bersamaan.
“Maaf, tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin.”
Seketika Kevin merasakan sesak yang teramat sangat. Seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya. Membuat napasnya menjadi semakin tidak teratur. Wajahnya pucat pasi. Dan kemudian ia merasakan semuanya menjadi gelap..
***
Kevin
Demi Tuhan, mimpi macam apa barusan?
Aku bangkit segera dari tempat tidurku dan duduk membisu dipinggiran tempat tidur. Membenamkan wajahku pada kedua telapak tangan. Napasku masih tidak teratur dan aku menyadari segera bahwa keningku sudah basah oleh keringat.
Demi Tuhan, Mimpi itu seperti nyata.
Aku sedikit terlonjak ketika tiba-tiba ponselku berdering.
Manda?
“Kev?”
“Y...ya?”
“Akhirnya...Aku pikir ngga bakalan diangkat telponnya. Aku udah ada didepan pintu kost-an kamu nih. Bukain dong. Kalo aku gedor-gedor takut ngeganggu yang lain. Aku juga bawain kamu sarapan.”
Aku hanya mematung sambil memegang ponsel dengan tangan kananku.
“Kev?”
Suara Manda membuyarkan lamunanku.
“Iya, aku bukain. Tunggu sebentar.” Aku memutus telpon dan meletakkan ponselku dimeja disamping tempat tidur.
“Hai Kevin. Selamat pagi.” Ah suara itu, suara cempreng yang sangat khas dan familiar ditelingaku. Siapa lagi kalau bukan suara Manda? Suara dari gadis berusia 19 tahun yang anehnya malah membuat seluruh tubuhku langsung menghangat dan membuat segala sesuatunya terasa lebih nyaman dan terasa benar.
“Pagi.” Balasku singkat. Ia langsung masuk saja ke ruanganku. Ya, memang selalu begitu.
“Ampun deh, dasar cowok. Kamar ampe berantakan kayak gini. Kamu mending mandi, aku yang beresin barang-barang ini terus abis itu kita sarapan.” Manda meletakkan tas yang sebelumnya ia sampirkan pada bahu kanannya kemudian mengangkat tangannya yang memegang plastik hitam sambil menggoyang-goyangkan bungkusan tersebut didepan wajahnya. Sepertinya plastik itu berisi...
“Nasi uduk?”
“Hooh. Kok tau?” Manda menurunkan tangannya dan balik bertanya.
“Nebak aja.” Balasku akhirnya.
“Udah sana buruan mandi.” Manda mulai merapikan ruanganku.
Aku menghela napas dan menghembuskannya perlahan memperhatikan semua yang dilakukan Manda sebelum akhirnya aku bergegas mandi.
Aku keluar dari kamar mandi dan kemudian sedikit terkejut melihat kamarku, dan ruang tengah yang sudah rapi. Benar-benar rapi.
“Kev, kamu ngga punya piring ya?”
Aku mendengar Manda berseru dari dapur kecil di kost-anku.
“Ada. Coba aja cari di...”
Aku segera berlari sebelum menyelesaikan kalimatku sambil menghampiri Manda, dan benar saja, ia tengah memegangi jari telunjuknya yang sudah meneteskan cairan segar berwarna merah.
Aku meraih jarinya yang terluka dan menyesap darahnya yang terus menerus menetes. Kemudian aku membawanya keruang tengah untuk segera memplester lukanya.
“Nah, sekarang beres.” Aku menatap gadis manis didepanku yang masih menatap lukanya dnegan wajah bingungnya.
“Man,”
Manda menoleh menatapku, masih dengan tatapan bingungnya. Aku balas menatapnya tepat dimanik mata.
“Selamat ulang tahun ya.” Aku mendekatkan wajahku dengannya. Dan kemudian mengecup bibir mungilnya selama beberapa detik.
“Happy Anniversary too.” Aku tersenyum. Setelah beberapa detik, Manda pun akhirnya ikut tersenyum menatapku.
“Makasih, Kev. Makasih banyak.” Manda hampir saja menjatuhkan buliran bening dari kedua matanya sebelum aku mencegah buliran bening itu benar-benar menetes.
“Kamu tau? Kamu adalah orang paling cantik kedua didunia.”
“Kedua?”
Aku mengangguk.
“Yang pertama siapa?” Manda kembali bertanya.
Aku tersenyum. “Kamu.....pas lagi senyum.”
Manda mendorongku pelan dan aku gantian mencubit kedua pipinya yang tembam.
“Sekarang mana nasi uduk aku?” Aku kemudian mengingat nasi uduk yang tadi dibawa oleh Manda setelah merasakan perutku yang mulai keroncongan.
 “Masih didapur. Biar aku yang ambilin ya?”
Baru saja aku membuka mulut untuk menjawab pertanyaan manda, aku mendengar ponselku berdering.
“Hmm yaudah. Aku mau ngambil HP dulu, ya, dikamar.”
Manda mengangguk bersemangat.
“Woy, Kev. Lo jadi kerumah gue kan? Ajak si Manda ya. Oiya, Happy anniversary buat kalian berdua. Semoga sama langgengnya kayak kejombloan gue.”
KLIK. Telpon diputus begitu saja oleh Dion bahkan sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata.

“Man, aku ada latihan hari ini dirumah Dion. Kamu mau ikut, kan? Si Dion juga nyariin kamu tuh.” Aku duduk disofa yang telah diduduki oleh Manda.
“Mauuuu!! Mau banget!” Manda mengangguk semangat.
***
“Wahai Dion Sang Jones Abadi! Dimana kamuuuuuuuu?” Manda berseru ketika memasuki rumah Dion.
“Hei!” Dion berlari kecil menghampiri Manda. Senyumnya terus mengembang.
“Cie, selamat ulang tahun ya. Makin cantik dan semoga gue dapet pacar!”
Aku tersenyum geli mendengar ucapan Dion untuk Manda.
“Makasih dan amin ya, Di.” Ucap Manda disela tawanya.
“Oh iya, ini buat elo, Man. Sorry ngga sempet dibungkus.”
Astaga, aku belum menyiapkan apa-apa untuk Manda.
“Eh? Waaaaaaaaa makasih Dion. Ini buku emang udah gue incer dari kapan tau. Makasih ya makasih, makasih, makasihhhh.” Manda menyubiti kedua pipi Dion.
“Ehem,”
Manda refleks menurunkan tangannya dan Dionpun akhirnya menoleh seakan baru menyadari kehadiranku.
“Eh iya, hampir lupa kalo ada elo, Kev.” Dion terkekeh dan kemudian mengulurkan tangannya. Akupun langsung menyambutnya dengan salaman khas yang biasa aku dan Dion lakukan.
“Happy anniversary juga ya buat kalian. Udah berapa tahun ya?” Dion menunjuk jari-jari tangannya sambil menghitung tanpa suara.
“Ah empat! Gilak, kalian udah empat tahun dan selama itu pula gue jomblo!”
Aku dan Manda tertawa geli mendengar perkataan Dion.
“Ah kalian ngga asik. Bukannya cariin cewek atau apa kek gitu buat gue. Malah puas ngetawain kayak gitu. Seneng banget ngeliat temen menderita.” Aku melihat Dion memasang mimik muka kesla yang dibuat-buat yang kemudian malah membuat aku kembali tertawa.
“Udah ah lo jangan curcol terus. Mending langsung aja keatas. Pasti mereka udah nunggu kan?”
Sahutku setelah tawaku mereda.
“Yaudah ayo. Man, gapapa kan ditinggal sendiri? Kevinnya dipinjem sebentar doang ko. Abis itu kalian bisa ngerayain hari kalian berdua sepuasnya. Oke?”
“Siap, selama ada makanan dan ini.” Manda menunjuk Ipod yang digenggamnya.
“Yaudah aku tinggal sebentar ya, Man.” Manda mengangguk dan tersenyum kearahku. Baru aku sadari aku sudah cukup lama tidak melihat gadis itu tersenyum semanis itu. Khususnya kepadaku. Yah, mungkin akhir-akhir ini aku berubah menjadi seorang laki-laki cuek. Atau memang brengsek? Ah, iya, dulu aku memang sempat mengabaikan gadis itu.
***
“Sekarang kamu mau kemana?” Aku bertanya pada Manda setelah keluar dari halaman rumah Dion. Dua jam berlalu dan akhirnya latihan hari inipun selesai.
“Kemana ya?” Manda mengetuk-ngetuk bibirnya dengan jari telunjuk.
“Makan ketempat biasa aja yuk?”
“Ngidam masakan Itali nih ceritanya?” Sahutku sambil sesekali menoleh kearahnya.
“Aku...maksudnya, kita, udah lama ngga kesana.” Manda menyahut datar sambil menatap jendela disampingnya. Aku mengerti apa maksud dari pernyataan Manda barusan.
“Man.”
“Ya?” Manda menoleh.
“Maaf ya.”
“Buat apa?”
“Buat semua kesalahan-kesalahan aku. Aku...” Aku ragu untuk meneruskan kalimatku barusan.
“Udah jahat sama kamu.” Lanjutku akhirnya. Baru kusadari aku sempat menahan napasku selama beberapa detik.
Manda hanya tersenyum. Tulus.
“Kamu ngga pernah ngebikin aku ngerasa dijahatin sama kamu, Kev.”
Kevin mengusap pelan pipi Manda. Dan dapat Kevin rasakan pipi Manda menghangat dan wajahnya menjadi sedikit memerah.
***
“Buat kamu.”
Tiba-tiba Manda menggeser bungkusan berwarna abu-abu polos kearahku.
Aku dan Manda akhirnya sepakat mampir ke restoran Itali yang dulu sering aku kunjungi bersama Manda untuk makan malam dan sekarang aku dan Manda sedang menunggu pesanan datang.
Aku mengerutkan kening. Bingung.
“Hadiah buat hari jadi kita.” Manda tersenyum.
“Buka deh.” Lanjutnya.
Aku membuka perlahan bungkusan tersebut. Demi Tuhan, jangan sampai bungkusan ini berisi....
“Lukisan.”
Aku mendongak dan melihat Manda menganggukan kepalanya dengan senyum yang mengembang.
 Aku benar-benar merasa De Javu. Demi Tuhan, aku pernah mengalami hal ini. Mendapatkan lukisan dengan objek aku yang sedang memegang kue ulang tahun dengan lilin bertulisan angka ‘15’ serta Manda yang tengah memegang boneka panda hampir seukuran tubuhnya saat itu. Tanganku sedikit gemetar. Perasaan cemas dan khawatir mulai berkelebat dalam otakku. Ini persis. Persis sama dengan mimpi sialan itu tadi pagi. Dan, bagaimana kalau akhirnya nanti aku mendapat kabar bahwa Manda...
“Kev? Gimana? Kamu suka?”
Pertanyaan Manda membuyarkan lamunanku yang sudah mulai sedikit ngelantur.
“Suka. Suka banget. Makasih banyak, Man.” Aku masih terpaku pada lukisan yang sekarang tengah aku pegang. Aku baru menyadari tanganku gemetar. Dan yah, aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
“Aku senneg kalo kamu suka. Samasama, Kev.”

Manda
“Kemana sih, si Kevin. Baru ditinggal ke toilet sebentar udah ngilang aja.”
“Hai, Man.”
Ah akhirnya.
“Sorry ya. Ada urusan sebentar.”
“Iya gapapa.” Aku menyunggingkan seulas senyum.
“Jadi, Tuan Puteri, apa kita langsung kembali ke istana?”
Aku terkekeh geli.
“Tentu saja.”
***
“Kamu...Mau nganter aku sampe depan kostan aku?” Aku bertanya ragu. Aku merasa seperti ada sesuatu yang salah terjadi pada Kevin. Dan aku pikir setelah aku memberikan lukisan tersebut padanya. Apa mungkin ia tidak suka dengan hadiah yang aku berikan di restoran tadi?
“Iya Sayang.” Kevin melepaskan seatbeltnya. Dan kemudian membuka pintu disampingnya. Akupun mengikuti. Jalanan cukup lenggang padahal waktu masih menunjukkan pukul 8.30 malam.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you. Aku sayang kamu, Man.”
Aku terkesiap mendapati Kevin yang tengah memegang cake, atau lebih tepatnya cheese cake dengan lilin yang tertancap berbentuk angka 1,9, dan 4.
“Apa aku setua itu?” Aku bertanya sambil menahan tawaku.
“Untuk ulang tahun kamu ke sembilanbelas. Dan untuk hari jadi kita ke empat tahun.” Kevin tersenyum. Sungguh, aku merindukan senyuman ini.
“Tiup dong. Dan jangan lupa, buat wish-nya.”
Aku menggigit bibir.
“Oke.” Sahutku akhirnya.
Aku memejamkan mata selama duapuluh detik penuh. Dan akupun meniup ketiga lilin tersebut.
Kevin meletakkan cake tersebut dan bertepuk tangan seraya memelukku. Wangi parfum segera menyeruak kedalam hidungku. Membuatku secara refleks menarik lengkung pada sudut bibirku.
“Kamu tau, Kev?” tanyaku yang masih berada dalam dekapannya.
“Hm?”
“Kamu orang paling ngga romantis yang pernah aku kenal.”
Kemudian aku merasakan tawa Kevin di pundakku. Sangat menghangatkan di udara sedingin ini.
“Tapi, aku sayang sama kamu.” Lanjutku akhirnya.
Kevin melepas pelukannya dan mencium keningku.
Aku berharap waktu dapat berhenti. Seperti ini lebih baik karena semua terasa begitu benar.
***
“Tuan Puteri. Sekarang anda telah sampai didepan istana.”
Aku terkekeh pelan mendengar ucapan Kevin.
“Oh iya, aku pengen besok kamu pake ini. Kita dinner berdua. Buat ngerayain hari kita secara lebih resmi dan lebih romantis.” Kevin mengulurkan kotak berwarna biru muda dengan pita berwarna biru tua.
“Apa ini?” Tanyaku bingung.
“Buka aja.”
Akupun membuka kotak yang terlihat sederhana namun manis tersebut. Aku tercengang begitu melihat isi dari kotak tersebut. Sebuah...
“Dress?” Seperempat pertanyaan sementara tigaperempat lainnya pernyataan meningat isi dari bungkusan tersebut adalah sebuah dress hitam dengan renda sederhana pada bagian dada.
Aku mendongak menatap Kevin. Aku sempat ragu mengingat aku sangat tidak suka memakai pakaian semacam dress, gaun, atau sejenisnya. Namun, “Baiklah, demi kamu.”
“Besok aku jemput jam 7. Dadah.”
Kevin berlalu begitu saja. Begitu aku membalikkan badan hendak membuka pintu, Kevin kembali menyerukan namaku.
“Man.”
Aku menoleh. Kevin berlari menghampiriku dan mengecup puncak kepalaku.
“Makasih, makasih buat semuanya.”
Aku mematung selama beberapa detik dan ketika aku sadar Kevin sudah tidak ada dihadapanku.
“Samasama, Kev.”
***
Dering ponsel tanda panggilan masuk yang akhirnya membuatku terjaga. Aku melirik sekilas jam di meja disamping tempat tidurku. 11:50. Siapa orang yang cukup rajin untuk menelpon ku tengah malam begini? Aku menggerutu dalam hati. Aku meraba meja tersebut masih dengan mata terpejam dan setelah beberapa detik aku berhasil mendapatkan ponsel yang tadinya tergeletak di meja disamping tempat tidurku tersebut.
“Manda.”
Dion rupanya.
“Ya?” Sahutku dengan sebelah tangan menutup mulutku yang sedang menguap.
“Kevin. Kevin kecelakaan dan sekarang kritis.”
Deg. Demi Tuhan aku merasakan jantungku berhenti beberapa detik. Aku harap ini hanya bunga tidur. Hanya mimpi. Dan demi apapun ini adalah mimpi terburuk dalam hidupku.
***
Tiga Tahun Kemudian
Aku pikir sekarang aku masih bermimpi. Mimpi buruk yang dimulai tiga tahun lalu. Entahlah, apa mungkin mimpi buruk sampai selama ini? Entah apa yang menggerakkanku menuju tempat ini. Karena, begitu sadar, tibalah aku pada tempat ini. Tiba-tiba aku merasakan bahkan sulitnya hanya untuk bernapas. Rasanya seperti ada yang mengganjal tenggorokanku sehingga membuat napasku tercekat. Rasa sesak ini benar-benar mengangguku. Aku melekuk kedua kakiku sehingga dapat terduduk diatasnya. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
“Hai, Kev.”
Aku mengatur napasku yang mulai tidak beraturan.
“Apa kabar kamu? Pasti baik kan? Lama ya kita ngga ketemu." Aku tersenyum simpul.
"Oh iya, aku pakai dress yang kamu kasih ke aku waktu itu, loh.”
Pandanganku mulai memburam dan setetes air mata meluncur bebas dari mataku. Aku mencoba menghapusnya dengan punggung tangan. Dan berharap tetesan berikutnya tidak akan turun menyusul.
“Hari ini aku ulang tahun, Kev. Ke 22.”
Jeda sejenak.
“Tujuh tahun lalu aku mendapat hadiah terindah saat ulang tahun aku, Kev. Kado yang Tuhan kasih buat aku.”
Butiran bening lainnya kemudian ikut menyusul dan aku tidak berusaha untuk menghapusnya. Sia-sia. Percuma.
“Buat jadi penyemangat aku, buat nemenin dan ngejaga aku. Buat ngelindungin aku. Buat jadi orang yang pertama ngehapus air mata aku. Buat jadi orang yang selalu bikin aku seneng, dan ngehibur aku saat aku sedih, buat jadi orang yang selalu ada buat aku.”
Bahuku naik turun mengikuti isak tangisku yang semakin menjadi.
“Buat jadi orang....”
“Yang akhirnya aku sayang.”
“Tapi tepat empat tahun kemudian, Tuhan ngambil lagi hadiah itu dari aku, dan saat itu aku sadar kalo hadiah itu ngga sepenuhnya buat aku. Tuhan cuma nitipin itu sementara buat aku. Setelah itu ngga ada lagi orang yang jadi penyemangat aku, ngga ada lagi orang yang ngelindungin dan ngejaga aku. Ngga ada lagi orang yang bisa bikin aku tersenyum walaupun dia ngga ngelakuin apa-apa. Ngga ada lagi orang yang bikin hidup aku bisa jauh lebih menyenangkan dan lebih berwarna.”
 “Aku yakin kamu tau, Kev. Hadiah itu kamu, Kev. Kamu.”
Aku mencoba menghapus air mata yang sudah membanjiri wajahku dengan punggung tangan. Aku memaksakan seulas senyum tipis dengan isak tangisku yang belum mereda.
"Cuma kamu, Kev, yang bisa bikin aku ngerasa memiliki dan kehilangan dalam waktu yang bersamaan. Kamu datang dan pergi dihari yang harusnya menjadi hari istimewa buat aku."
Aku kembali menarik napas panjang. Dan menghembuskannya perlahan. Aku lakukan itu berulang-ulang demi meredakan isak tangisku yang semakin tidak terkendali. Dan setelah tangisku mereda,
“Aku mau minta izin sama kamu. Izinin aku mencintai orang lain. Izinin aku buat ngejadiin orang lain sebagai penyemangat aku, sebagai orang yang bisa selalu bikin aku tersenyum, sebagai orang yang selalu ada buat aku, sebagai orang yang bisa ngejaga aku. Dan sebagai orang yang bisa aku cintai,”
“Tapi percayalah, di dunia ini bahkan ngga ada yang bisa gantiin posisi kamu dihati aku. Kamu selalu punya ruang tersendiri dihati aku yang ngga bisa ditempatin orang lain. Siapapun itu.”
 Jeda sejenak. Aku mencoba menarik napas. “Jadi sekali lagi, izinin aku buat bisa sayang sama orang lain, Kev. Kamu mau kan?”
“Happy anniversary. Buat kita yang ketujuh tahun.”
Aku meletakkan seikat bunga mawar putih segar didekat batu nisan dihadapanku.
“Manda.”
Aku menoleh mendengar suara yang sudah mulai familiar ditelingaku.
Aku bangkit dan laki-laki dihadapanku langsung menarikku kedalam pelukannya. Hangat, dan membuatku merasa sedikit lebih tenang.
“Gue bakal jagain Manda, Kev. Gue janji. Dan lo bisa pegang janji gue.”
Ini bukan mimpi buruk, mungkin ini merupakan sebuah permulaan dari kisah selanjutnya yang akan aku jalani kedepan...bersama orang yang aku sayangi, Dion.
TAMAT

No comments:

Post a Comment